TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Petani tembakau dianggap sebagai pihak yang paling rentan posisinya dalam mata rantai niaga rokok.
Fadholi, Ketua Kelompok Komisi IV dari Fraksi Partai NasDem dalam sebuah audiensi dengan Indonesia Acceleration Foundation menuding, Pemerintahan Joko Widodo kurang memperhatikan petani tembakau.
Hal ini, antara lain bisa dilihat dari rencana strategis Menteri Pertanian yang tidak memasukkan tembakau dalam kebijakan nasionalnya.
Lebih jauh lagi, pemerintah lebih memperhatikan komoditas pertanian lainnya seperti padi, jagung, kedelai, kakau, dan kopi. Padahal cukai rokok berkontribusi 7 sampai 10 persen penerimaan APBN.
“Di mana menteri pertanian ini? Petani tembakau sudah megap-megap tapi tidak diprioritaskan. Ironis sekali,”kata Fadholi.
Landasan hukum yang bisa dipakai untuk menegaskan posisi petani tembakau ini menurut Fadholi bisa mengacu pada UU No. 2012 tentang Perlindungan Pemberdayaan Petani.
Negara harus memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada petani secara terencana, terarah, dan berkelanjutan.
Taru J. Wisnu dari Indonesia Acceleration Foundation mengungkapkan, dalam rantai tata niaga rokok, petani hanya dapat margin profit sebesar 7 persen.
Sedang sisanya adalah cukai rokok sebesar 52 persen, pabrik 18 persen, pedagang besar dan kecil 13 persen, dan pedagang eceran 10 persen.
Angka tersebut belum termasuk risiko-risiko yang sewaktu-waktu menghantui para petani tembakau. Sehingga profit margin yang diterima oleh petani bisa jadi kurang dari 7 persen bahkan bisa minus.
Pola perlindungan pemerintah terhadap para petani perlu dibuat dalam rangka meningkatkan hasil panen dan outputnya adalah kesejahteraan petani.