TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit menilai Presiden Jokowi tidak pernah diberi data oleh pembantunya di pemerintahan mengenai stok daging sapi di dalam negeri.
Karena harga daging mencapai Rp 80 ribu per kilo menurut Anton tidak bisa dilaksanakan, akibat kurangnya pasokan.
"Kasihan Pak Jokowi disuguhi data tidak benar," ujar Anton, Senin (6/6/2016).
Harga daging sapi masih berada di kisaran Rp 100 ribu per kg. Pemerintah kemudian membuka keran impor untuk menambah pasokan agar harga bisa ditekan Rp 80 ribu sesuai perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Anton kemudian memaparkan harga daging sapi Rp 80 ribu bisa diberikan pemerintah saat ini. Namun yang dijual adalah daging jeroan (karkas) diimpor dari Australia.
"Oke sapi Rp 80 ribu dimana sapi karkas dari Australia," ungkap Anton.
Anton menambahkan bahwa harga daging sapi sulit ditekan sampai Rp 80 ribu, karena pasokan masih sangat tipis saat ini. Apalagi saat ini, kata Anton mayoritas peternak sapi berasal dari masyarakat kecil.
"Nggak masuk akal. Sekarang 80 sampai 85 persen peternak sapi kecil, Harga Pokok Pembelian daging sapi pasti lebih dari Rp 80 ribu," papar Anton.
Andi salah satu pedagang daging sapi di Pasar Benduangan Hilir mengungkap, meski ada operasi, tidak membuat harga daging sapi di pasaran ikut turun.
"Harga daging sapi dari pejagalannya sudah mahal. Saya beli Rp 88.000 per kilo langsung dari tukang jagal. Itu juga saya beli sama tulang dan lemak-lemaknya, bukan dagingnya saja," ujar Andi.
Dengan kondisi seperti itu, mau tidak mau Andi juga harus menaikkan harga jual ke konsumen.
"Saya jual harga daging sapi Rp 130.000 per kilogram," kata Andi.
Menurut dia, harga daging sapi pada tingkat pedagang bisa turun kalau harga jual di pejagalan juga turun. Untuk itu, dia berharap pemerintah dapat bisa mewujudkan hal itu.
"Harusnya pusat bisa menurunkan harga di pejagalan juga, pemerintah jangan teori saja," kata Andi.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah nyata menghadapi kenaikan harga-harga di bulan suci Ramadan.
Menurutnya, harga bahan pokok saat ini sudah terlampau tinggi dan sulit terjangkau oleh masyarakat.
"Sebenarnya, kenaikan harga itu, pada bulan Ramadan yang dulu-dulu pun naik, tetapi tidak sehebat ini kenaikannya," kata Agus.
Wakil Ketua DPR ini menilai, kementerian terkait, terutama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, dan Kementerian Pertanian harus bersatu untuk membuat harga pangan stabil kembali.
"Dalam hal ini pangan, ada institusi kita BUMN Bulog yang pada waktu itu diharapkan untuk bisa menyangga kebutuhan pangan. Namun, memang Bulog kenyataannya tidak bisa bekerja secara maksimal," ucap Agus.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkap dua faktor yang memicu masalah daging sapi. Pertama adalah data konsumsi daging sapi antar kementerian berbeda.
Kemudian rantai distribusi daging sapi yang cukup panjang.
"Data ini (di dua kementerian) implikasinya pada data kebutuhan daging sapi nasional. Kalau di situ saja ada perbedaan, menentukan kuota bagaimana dasarnya," kata Ketua KPPU, Syarkawi Rauf menjelaskan.
Data konsumsi daging di Kementerian Koordinator Perekonomian 2,61 kilogram (kg) per kapita per tahun. Namun, di Kementerian Pertanian menyebutkan konsumsinya hanya 1,75 kg per kapita per tahun.
"Selama ini kan, sapi masuk ke feedloter, lalu ke RPH (Rumah Potong Hewan), ke ritel, baru masuk ke end user. Ternyata, dari feedloter ke RPH itu ada perantaranya, dan dari RPH ke ritel juga ada perantaranya," tutur Syarkawi.
Syarkawi menambahkan, permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar harga daging di bawah Rp 80.000/kg seharusnya bisa tercapai.
Salah satu upayanya adalah dengan membuat kapal ternak untuk mengangkut sapi dari NTT dan NTB ke Jakarta. (tribun/nic/dtc)