TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha saat ini takut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) akan memberlakukan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Kebijakan tersebut melarang pengalihan keuntungan perusahaan multinasional dari negara satu ke negara lain, memakai tarif pajak rendah.
Tax Director RSM Indonesia Nick Graham mengatakan, di Indonesia kesadaran pelaku usaha nasional mengenai BEPS masih rendah. Pasalnya fokus utama pengusaha dalam negeri masih terkait target penerimaan pajak yang begitu tinggi.
"Prioritas utama pengusaha Indonesia adalah audit pajak dari Direktorat Jenderal Pajak untuk mencapai target perolehan pajak yang cukup ambisius," ujar Nick Graham, di Jakarta, Kamis (9/6/2016).
Hal yang menjadi perdebatan, apakah Direktorat Jenderal Pajak akan mengikuti prinsip OECD mengenai pengalihan aset dengan pajak tinggi. RSM juga menilai pemerintah juga bisa mengadopsi sebagian prinsip OECD saja.
"Dunia usaha di Indonesia juga masih dalam posisi menunggu terbitnya aturan mengenai tax amnesty untuk melihat apakah ada dampak positif dari penerbitan aturan tersebut," ungkap Nick.
Dari hasil penelitian konsultan akuntan publik RSM, 72 perusahaan skala menengah dari berbagai negara akan membayar pajak lebih besar dari aturan yang ditetapkan BEPS. Rata-rata pihak pengusaha akan mendapat beban pajak meningkat sampai 10 persen lebih.
"Investor asing kesadarannya lebih tinggi karena adanya implikasi terhadap transaksi internasional dan struktur operasi mereka," papar Nick.
Walaupun aturan BEPS berdampak langsung pada laba, 78 persen pelaku usaha mengaku iklim investasi terganggu. Sedangkan 61 persen responden merasa BEPS tidak bisa menyerap maksimal pembayaran pajak di negara pelaksana bisnis tersebut.
"Hanya 35 persen yang merasa tujuan aturan BEPS dapat tercapai," kata Nick.