TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Maraknya produk properti seperti perumahan dan apartemen yang menyematkan konsep syariah memang berbeda dengan produk properti konvensional lainnya.
Konsep pengembangan perumahan dan apartemen syariah ini didasarkan pada berbagai faktor, antara lain pembayaran tanpa riba dan fasilitas ibadah dari perumahan tersebut.
Hal itu terutama diterapkan dalam sisi pembiayaan dan transaksi dengan meniadakan peranan perbankan untuk fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR).
Sebagian besar dari perumahan ini bahkan punya lembaga keuangan sendiri yang dikelola perusahaan.
Konsumen hanya berurusan dengan pihak pengembang serta notaris yang ditunjuk, setelah kesepakatan harga dan tenor KPR disepakati.
Ahli Perbankan Syariah yang juga Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Gunawan Yasni mengatakan, konsep pembayaran tanpa riba adalah semacam akad jual beli tangguh biasa.
Dalam istilah perbankan syariah dinamakan pembiayaan murabahah.
"Jadi sebenarnya harga properti yang mau dijual secara tunai ditambah margin khusus yang digunakan sesuai jangka waktu yang diminta untuk menyelesaikan pembayarannya," jelas Gunawan, Minggu (12/6/2016).
Contohnya, konsumen A membeli unit B seharga Rp 790 juta. Dengan konsep KPR syariah, harga tunai tersebut berubah menjadi Rp 890 juta per kelipatan lima tahun.
Perubahan harga menjadi Rp 100 juta lebih tinggi dalam lima tahun, setelah memperhitungkan tingkat inflasi dan kondisi ekonomi.
Ini artinya, jika konsumen tersebut ingin memanfaatkan fasilitas KPR syariah bertenor lima tahun, maka uang yang harus dibayarkan sejumlah Rp 890 juta.
Sementara jika konsumen memilih tenor lebih panjang, misalnya sepuluh tahun, maka harga rumah yang harus dibayar menjadi Rp 990 juta.
Besaran harga tersebut diinformasikan dan disepakati sebelum perjanjian pengikatan jual beli atau PPJB. Setelah kesepakatan dicapai, PPJB kemudian ditandatangani di hadapan notaris yang ditunjuk pengembang.
Pembayaran dengan menggunakan konsep syariah menurut Gunawan tidak memberikan perasaan was-was bagi konsumen karena tidak ada ketentuan naik turun bunga seperti pada transaksi KPR konvensional.
Konsumen juga diuntungkan dengan kepastian cicilan setiap bulannya yang harus dibayarkan ke pengembang.
"Jadi orang sudah nggak berpikir tiba-tiba suku bunga naik dan bayar cicilannya bertambah karena untuk menutup bunganya karena dari awal sudah ditentukan berapa dan kapan selesainya," pungkasnya.
Penulis: Ridwan Aji Pitoko