TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) bertentangan dengan perintah Undang-Undang Dasar.
Bukan karena di balik itu justru melindungi kejahatan ekonomi trans-nasional, namun juga karena kekayaan yang “digelapkan” tersebut semestinya diusut bagian mana yang sejatinya aset nasional dan harus dikembalikan.
Demikian pandangan Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Awan Santosa, Senin ( 27/6/2016).
Menurut Awan yang juga Direktur Mubyarto Institute itu, potensi penerimaan tax amnesty sebesar Rp. 165 trilyun tentu saja tidak sebanding dengan besarnya potensi dari puluhan tahun kegiatan ekonomi yang hasilnya dibawa keluar, yang disebut-sebut dari mulai Rp. 4.500 trilyun - Rp 11.400 trilyun oleh berbagai hasil penelusuran.
Sekira itu hasil kejahatan dan penggelapan maka di dalamnya memuat hisapan yang tetap memiskinkan buruh, petani, nelayan, dan pelaku industri rumahan Indonesia sampai sekarang.
"Oleh karenanya, aset tersebut harus ditelusuri dan dikembalikan, bukan dengan memberikan pengampunan," tegasnya.
Awan menambahkan Negara tidak boleh kalah oleh orang seorang. Kekayaan Indonesia yang luar biasa sekira tidak dikelola dengan cara-cara timpang akan memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui tata kelola perpajakan yang baik dan benar.
"Soal dana penggelapan pajak yang parkir di luar negeri maka kita bisa urus dengan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis yang sudah ditandatangani Pemerintah RI berlaku tahun depan, yang tidak memungkinkan lagi dana pajak disembunyikan di luar. Tidak ada lagi tempat bagi para pengemplang, dana ribuan trilyun pun bisa kita selamatkan," tegasnya.
Dijelaskannya, sesungguhnya pendapatan nasional Indonesia tidak kurang sekira tidak terhisap dalam struktur ekonomi yang timpang.
"Alih alih tax amnesti, yang kita perlukan adalah realisasi Nawacita untuk melakukan demokratisasi perekonomian. Kita memerlukan reformasi perpajakan dengan basis negara yang memegang kontrol atas sektor strategis ekonomi nasional, sehingga tidak banyak lagi kekayaan yang tersedot ke luar atau masuk ke kantong kantong orang perorang," paparnya.
Awan Santosa menyebutkan ekonomi Indonesia masih terjerat ketimpangan struktural. Segelintir elit pemodal menguasai berbagai sektor-sektor vital perekonomian, tentu dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Dasar.
Mode ekonomi yang timpang, tidak adil, dan tidak demokratis ini akhirnya memunculkan berbagai kejahatan ekonomi lanjutan, seperti penggelapan pajak, pencucian uang, bisnis offshore, dan berbagai kejahatan berkedok transaksi perbankan.
"Pajak sebagai instrumen redistribusi kesejahteraan belum efektif mengingat mode ekonomi yang tidak sejalan dengan amanat konstitusi," ucapnya.