TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000 tentang Telekomunikasi yang mengatur penggunaan frekuensi radio dan orbit satelit.
Dalam revisi tersebut, pemerintah akan memasukkan pasal mengenai konsep berbagi jaringan atau network sharing.
Sebab sebelumnya, jika mengacu ke beleid tersebut di Pasal 25 ayat (1) secara tegas menyatakan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain.
Sementara di ayat (2) pasal yang sama menyatakan Izin stasiun radio tidak dapat dialihakn kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari menteri.
Seperti diketahui, network sharing adalah konsep mengenai satu perangkat jaringan aktif yang digunakan oleh beberapa operator berbeda.
Dengan demikian, nilai positif atau keuntungannya adalah, konsep demikian dinilai bisa membantu memangkas biaya pembangunan jaringan sekaligus mempercepat proses pembangunannya.
Ujung-ujungnya, konsumen bisa menikmati tarif layanan yang terjangkau. Lantas apa ruginya?
Menurut telaah Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala, revisi aturan tersebut memiliki nilai minus sebab berpotensi merugikan negara karena berkurangnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dia mengatakan, dalam revisi itu ada wacana network sharing. Kalau mengacu Undang-undang No 36 tentang Telekomunikasi jelas tentang tata cara penyelenggaraan jaringan membutuhkan izin yang diatur dengan keputusan menteri.
"Kalau penggunaan frekuensi diserahkan pada deal business to business (B2B), ada potensi kerugian,” terang Kamilov, Senin (27/6/2016).
Menurut dia, pada pasal 30 dari PP No 53/2000 sudah benar dengan menyatakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penggunaan bersama pita frekuensi dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna.
“Kalau network sharing ada operator A numpang ke B di suatu tempat dan sebaliknya di tempat lain. Blok frekuensi yang digunakan bisa menjadi milik A ditambah B, sehingga blok yang digunakan lebih besar sementara BHP tetap,” kata dia.
Tak Transparan
Tak hanya menyoroti potensi kerugian, Kamilov juga mengungkapkan proses revisi dari PP No 53/2000 yang dia nilai tidak transparan. Menurut keterangan pihak terkait, draf revisi sudah berada di tangan Sekretariat Negara.
Menurut dia, proses revisi tidak transparan sebab tidak melibatkan semua pemangku kepentingan dan konsultasi publik yang transparan. “Itu melanggar kelaziman suatu proses pembuatan hukum di negeri demokrasi,” tegasnya.
Dia melanjutkan, minimnya partisipasi publik di revisi aturan yang akan mengubah lanskap industri itu menjadikan sebagai produk hukum tidak layak dijalankan.
“Saya usul Presiden tunda dulu tandatangan perubahan PP itu karena secara sepihak diproses tanpa melibatkan publik baik masyarakat umum dan industri,” tutupnya.(Aprillia Ika)