TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) hingga saat ini mengelola 13 lapangan panas bumi, baik yang dilakukan sendiri maupun melalui Kontrak Operasi Bersama dengan PT Chevron Geothermal Indonesia, PT Star Energy dan Sarulla Operations Ltd dengan install capacity sekarang 1438,5 megawatt (MW).
“Pengembangan lapangan panas bumi hingga menghasilkan listrik membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun. Sehingga sampai 2019 nanti masih akan didominasi oleh PGE,” ujar Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Selasa (28/6/2016).
Menurut Yunus, beberapa lapangan PGE yang akan beroperasi pada tahun ini di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha 30 MW dan Ulubelu unit 3 sebesar 55 MW.
Selain itu, PLTP Lumut Balai unit 1 sebesar 55 MW (2017), Hululais 55 MW (2018), dan Sungai Penuh 55 MW (2019). Selain itu, dari lapangan Sarulla yang dikelola KOB PGE-Sarula akan beroperasi 2016 sebesar 110 MW.
“Dan ditargetkan dari 13 lapangan tersebut akan menghasilkan kapasitas terpasang sekitar 2.000 MW pada 2019,” ungkap dia.
Yunus mengatakan penugasan kepada badan usaha milik negara (BUMN) merupakan salah satu terobosan untuk mempercepat pengembangan panas bumi yang juga diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Karena begitu besarnya target yang harus dicapai pada 2025, yaitu sebesar 7.200 MW sesuai Kebijakan Energi Nasional.
“Perlu kita tugaskan Pertamina melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Selain kita juga melakukan lelang untuk mendapatkan investor selain Pertamina,” katanya.
Menurut Yunus, saat ini Kementerian ESDM masih melakukan evaluasi terhadap lapangan atau Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang akan ditugaskan kepada Pertamina dan dua BUMN lainnya.
Pertamina memang perusahaan pengembang panas bumi pertama di Indonesia dengan keberhasilan mengoperasikan lapangan Kamojang sejak 1983.
Pengalaman dan keahlian BUMN tersebut tentu menjadi nilai positif untuk membantu pemerintah melakukan percepatan pengembangan panas bumi.
Namun pemerintah juga membutuhkan investor dalam mencapai target pengembangan panas bumi yang termasuk besar ini.
Hal ini mengingat BUMN juga memiliki keterbatasan pendanaan, sementara proyek panas bumi memiliki risiko tinggi dan padat modal.
“Keuntungannya utama kita punya kedaulatan dan kemandirian energi bagi bangsa kita sendiri melalui BUMN,” tegas Yunus.
Tafif Azimudin, Sekretaris Perusahaan Pertamina Geothermal, mengatakan perseroan tetap optimistis bisa menjadi perusahaan yang memiliki kapasitas PLTP terbesar, yakni 682 MW pada 2017.
Kapasitas pembangkit PGE berasal dari PLTP Kamojang 235 MW, Lahedong 125 MW, Ulubelu 220 MW, Sibayak 17 MW, Lumut Balai 55 MW dan Karaha 30 MW.
“Kami tetap optimistis bisa menjadi yang terbesar pada tahun depan, apalagi Chevron belum ada penambahan sampai dengan 2017,” kata dia.
Saat ini PGE memiliki total kapasitas PLTP sebesar 437 MW dan akan bertambah 105 MW hingga akhir 2016.
Berdasarkan data Pertamina, hingga kuartal I 2016, produksi panas bumi Pertamina mencapai 761,51 GWH atau naik 6,3 persen pada kuartal I 2016 dibandingkan periode sama tahun lalu.
Abadi Purnomo, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, mengatakan pengembangan yang dilakukan sebagian besar oleh BUMN dapat mengakselerasikan pengembangan panas bumi di Indonesia.