TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mencatatkan produksi minyak dan gas bumi rata-rata hingga akhir Juli 2016 sebesar 640 ribu barel setara minyak per hari (BOEPD).
Angka produksi ini naik 12 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 571 ribu BOEPD.
Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan kenaikan produksi migas tersebut ditopang oleh peningkatan produksi dari Blok Cepu yang melonjak 148 persen menjadi 77 ribu BOEPD dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 31 ribu BOEPD.
PT Pertamina EP Cepu, anak usaha Pertamina, memiliki hak partisipasi 45 persen di Blok Cepu yang berlokasi di Bojonegoro, Jawa Timur.
Selain itu, peningkatan juga ditopang dari kenaikan produksi migas konsolidasi PT Pertamina Hulu Energi menjadi 189 ribu BOEPD dari sebelumnya 149 BOEPD. Kontribusi terbesar produksi migas perseroan berasal dari PT Pertamina EP, yaitu sebesar 256 BOEPD.
“Dari lapangan luar negeri, Pertamina melalui PT Pertamina International EP (PIEP) mencatatkan produksi migas sebesar 119 ribu BOEPD sepanjang Januari-Juli 2016. Produksi migas ini naik 8 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 110 ribu BOEPD,” ujar Wianda dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (23/8).
Produksi minyak Pertamina pada tujuh bulan pertama tahun ini, baik dari luar negeri maupun lapangan di dalam negeri, mencapai 307 ribu bph, naik 11,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 275 ribu bph.
Sedangkan produksi gas sebesar 1.932 MMSCFD naik 12,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 1.712 MMSCFD.
“Kami akan terus berupaya meningkatkan produksi migas baik dari dalam maupun luar negeri. Apa yang sudah dicapai dalam 7 bulan terakhir dengan pertumbuhan 12 persen menunjukkan upaya Pertamina membuahkan hasil positif dan diharapkan terus meningkat hingga akhir tahun,” ungkap Wianda.
Satya W Yudha, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, mengatakan kinerja produksi migas Pertamina sangat bagus dan patut diapresiasi. Apalagi di saat kondisi harga minyak yang masih rendah. “Ini menunjukkan Pertamina melakukan operasi migas yang baik,” tukas dia.
Menurut Satya, kenaikan produksi tidak hanya dengan efisiensi tapi bisa dengan pemilihan teknologi. Selain itu, dengan maintenance yang baik juga dapat berpengaruh terhadap produksi.
“Jika maintenance rutin maka unplan shutdown itu bisa dihindari karena salah satu penurunan produksi karena ada unplan shutdown. Nah, jika unplan shutdown diubah Pertamina menjadi plan shutdown, semua jadi bisa direncanakan,” ungkap dia.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menambahkan pencapaian kinerja produksi Pertamina hingga saat ini merupakan bagian dari dari tren. “Ini juga menegaskan komitmen pertamina dalam pemenuhan energi domestik tetap dilakukan, meskipun harga minyak rendah,” tandasnya.
Menurut Komaidi, untuk mendukung kinerja Pertamina di sektor hulu migas, pemerintah bisa memperlakukan Pertamina seperti halnya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang lain. “Bahkan, jika memang perlu diberikan insentif pemerintah perlu memberikan itu,” kata dia.
Satya mengatakan dukungan dari pemerintah untuk Pertamina kembali ke masalah regulasi. Untuk Pertamina sebagai operator, pemerintah diminta membuat production split menjadi lebih fleksibel.
“Pada saat harga minyak turun porsi pemerintah berkurang dan kontraktor agak tinggi sehingga merangsang kontraktor dalam hal ini Pertamina untuk tetap berinvestasi,” tandas Satya.