TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Telkom Tbk menolak Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Kemkominfo terkait penurunan biaya interkoneksi dari Rp 250 menjadi Rp 204.
Direktur Utama Telkom Group Alex J Sinaga mengatakan, hingga saat ini belum ada kesepakatan soal angka Rp 204 untuk panggilan lokal seluler itu.
"Dua surat kami ke Menkominfo Rudiantara pun belum berbalas, padahal beliau sendiri yang sarankan kirim surat resmi jika keberatan,” ujarnya, usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara operator seluler dengan Komisi I DPR pada yang berlangsung pada Kamis (25/8).
Menurutnya, ada beberapa hal yang belum disepakati dan menjadi keberatan dari Telkom Group sebagai operator dominan yang datanya digunakan dalam menghitung revisi biaya interkoneksi.
Pertama, yaitu Telkom keberatan dengan pola simetris, padahal dalam pembahasan dokumen whitepaper sudah mengarah ke asimetris dan data input regional dengan biaya nasional.
“Dulu (perhitungan yang lama) kita mengalah sepakat simetris karena dijanjikan di perhitungan 2016 akan asimetris, kok tiba-tiba dibalikin ke yang lama. Ini kami sudah sering mengalah, sekarang tak bisa lagi. Kita ini menegakkan aturan, karena soal asimetris ini amanah aturan,” ujarnya.
Mengutip Surat DJPPI No.60/Kominfo/DJPPI/PI.02.04/01/2015 tanggal 15 Januari tentang permintaan pendapat terhadap konsep Whitepaper Penyempurnaan Regulasi Tarif & Interkoneksi dinyatakan Peraturan Menteri No 8/2006 pada dasarnya mengatur perhitungan interkoneksi secara asimetris.
Pilihan perhitungan ini karena ingin membantu operator dalam pengembalian investasi yang harus dimanfaatkan untuk menciptakan kompetisi yang sehat, perluasan jaringan, peningkatan kapasitas, dan kualitas layanan.
Dalam Whitepaper juga dinyatakan data input biaya elemen jaringan berbasis regional dan menjumlahkan setiap biaya jaringan seluruh regional dengan trafik nasional agar dapat diperoleh perhitungan yang akurat dengan mempertimbangkan kondisi setiap wilayah Indonesia.
“Keberatan kedua kami adalah adanya perbedaan angka yang keluar antara hitungan sendiri dengan Kominfo. Hitungan kita harusnya Rp 285, sementara mereka Rp 204. Padahal, kita pakai rumus yang sama. Makin kacau, itu pemerintah tak pakai Channel Data Rate yang ada,” katanya.
Diungkapkannya, Kominfo dalam menghitung menggunakan channel data rate 0,1 Mbps, sementara data komposisi pendapatan suara, SMS, dan data, range channel data rate 0,8 Mbps-1,2 Mbps. “Saat kita klarifikasi kok keluar dari koridor, jawabannya tak jelas. Kalau deviasi dikembalikan ke koridor, kita tak masalah,” jelasnya.
Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah menambahkan, dalam menetapkan utilisasi jaringan Geotype sub urban dan rural pemerintah juga melakukan kesalahan di mana menganggap sudah tergunakan 80 persen di tahun 2018. Padahal fakta di lapangan di area sub urban dan rural utilisasi maksimal bervariasi 6,3-20 persen di tahun 2018.
Alex menegaskan, jika nantinya penurunan biaya interkoneksi dipaksakan di angka yang belum disepakati, artinya ada indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi mulai dari pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 1 dan 2, serta pasal 37 ayat 2. Inti dari semua pasal ini adalah biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama, dan adil.
“Kalau dari hasil perhitungan Kominfo kami mengalami minus di sisi recovery cost karena dibayar di bawah biaya produksi, belum lagi competitive advantage dari Telkomsel seperti ditiadakan bukan oleh persaingan murni tetapi intervensi melalui regulasi. Ini tidak sehat bagi kompetisi,” ujarnya.(Hendra Gunawan)