TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan proyek IPP Jawa 1 telah dilelang PLN. Dari tender tersebut, terpilih empat konsorsium yaitu konsorsium Mitsubishi dan PJB, Adaro dan perusahaan asal Singapura Sembcorp, Pertamina bersama Marubeni dan Sojitz serta konsorsium Medco dan perusahaan asal Timur Tengah, Nebras.
Empat konsorsium ini secara resmi menyatakan minatnya terhadap proyek pembangkit listrik dengan biaya investasi lebih dari USD 2 miliar atau sekitar Rp 26,4 triliun.
Proyek yang memiliki kapasitas 2x800 MW ini menjadi proyek strategis dalam bagian proyek listrik 35.000 MW. PLTGU yang akan dibangun di Muara Tawar, Bekasi ini juga sekaligus akan mejadi proyek besar ketiga yang diselesaikan oleh PLN dan berlokasi di Pantai Utara Jakarta.
Pembangkit yang diprediksi butuh bahan bakar gas hingga mencapai 250 juta kaki kubik per hari ini sempat mengalami penundaan jadwal pengumpulan dokumen tender hingga dua kali.
Semula, PLN menetapkan jadwal pengumpulan dokumen itu pada 10 Mei 2016 lalu ditunda menjadi 25 Juli 2016 dan mundur lagi hingga 25 Agustus 2016.
Pengamat Energi UGM Fahmi Radhi mengatakan ketersediaan dan kesiapan lahan serta lokasi menjadi isu utama dalam pembangunan proyek ini. Alasannya, pemerintah berencana membangun satu pulau reklamasi yang bersinggungan dengan proyek pemerintah.
Selain itu, kata Fahmi, kepastian pemasok gas sebagai bahan bakar PLTGU tersebut masih belum didapatkan. Harusnya, sebelum tender PLN sudah memastikan lokasi dan pasokan energinya. Hal ini dikarenakan pasokan energi dan lahan masih jadi masalah menakutkan dalam pembangunan proyek kelistrikan.
"Sudah beberapa kali tender untuk IPP mundur karena kendala lapangan, ketersediaan lahan dan energi primer belum ada kepastian. Mestinya, sebelum tender PLN harus sudah menyelesaikan kedua masalah tersebut, tapi realitanya PLN tidak melakukan. Tanpa ada kepastian lahan dan energi, investor tidak bisa mulai membangun pembangkit listrik," ujar Fahmi di Jakarta, Senin (5/9).
Menurutnya, lahan dan energi merupakan momok bagi pembangunan pembangkit. Demo penolakan warga yang menentang pembebasan lahan dengan ganti rugi yang amat rendah merupakan bukti ketersediaan lahan merupakan faktor penting dan mutlak untuk proyek pembangkit listrik.
"Rencananya memang dengan reklamasi. Tetapi, proses reklamasi juga tidak mudah, bahkan lebih sulit dan lama di banding pembebasan tanah. Reklamasi bukan solusi yang tepat dalam pembangunan pembangkit listrik. Meski dibutuhkan area luas untuk pembangunan pembangkit, cuman kalau reklamasi hanya utk keperluan bangun pembangkit, biaya jadi lebih mahal," jelasnya.
Apalagi, lanjutnya, reklamasi masih mengalami permasalahan yang amat rumit. Mulai dari penolakan warga dan nelayan hingga izin pembangunan dari pemerintah yang menghambat. Dengan begitu, pembangunan megaproyek ini diperkirakan akan molor.
"Bahkan, bisa dibatalkan lantaran penolakan warga dan nelayan, serta kemungkinan izin reklamasi tidak keluar," katanya.
Fahmi menambahkan harusnya, sebelum tender PLN bertanggungjawab mengintegtrasikan permintaan kebutuhan listrik dengan suplai energi dan menyelesaikan pembebasan lahan serta masalah teknis lainnya. Dengan demikian, konsorsium investor bisa langsung bangun pembangkit listrik usai menang tender. Biaya yang dikeluarkan lebih dulu oleh PLN untuk integrasi energi dan pembebasan lahan bisa dimasukan dalam nilai investasi proyek.
"Tanpa integrasi dan pembebasan lahan oleh PLN, jangan harap pembangunan megaproyek 35.000 MW bisa direalisasikan sesuai target pada 2019," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengakui permasalahan lahan jadi kendala berat dalam pembangunan proyek 35.000 MW. Namun, kata Komaidi, pemerintah harus bisa memprioritaskan pembangunan proyek listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Proyek strategis seperti pembangkit listrik harus memiliki previllage dari pemerintah.
"Tetapi tetap harus mengutamakan aspek AMDALnya. Tentu beda dengan proyek yang lebih ke kepentingan korporasi. Karena komando utama dari proyek ini tetap di tangan pemerintah," tambah Komaidi.
Apabila, pembangunan pembangkit listrik selalu mengalami masalah pengadaan lahan, maka masyarakat akan menghadapi masalah pasokan listrik. Sehingga, proyek 35.000 MW dipastikan jalan di tempat.
"Ini semacam kasus nuklir yang tidak jalan-jalan. Sementara, negara lain sudah lama menikmati manfaat PLTN, masing-masing pihak harus objektif dan bijak dalam hal ini," pungkasnya.