TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Polemik tarif interkoneksi dinilai tidak perlu dibawa ke ranah hukum dengan menyeret lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seluruh pihak diminta memahami bahwa persoalan interkoneksi itu sederhana yang ujungnya menguntungkan bagi masyarakat luas.
Nonot Harsono, mantan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2009-2015, menegaskan hal itu menanggapi komentar dari petinggi BPK dan isu di media bahwa polemik interkoneksi akan dibawa ke KPK.
“Andai negara memilih sistem monopoli dalam menyediakan jaringan komunikasi bagi masyarakat, maka tentu tidak ada keributan interkoneksi karena hanya ada satu operator yang melayani seluruh rakyat," kata Nonot dalam keterangan tertulis, Senin (5/9/2016).
Namun, negara memilih sistem persaingan (multi operator) ada lebih dari satu jaringan komunikasi.
Sebagian masyarakat menjadi pelanggan dari satu operator, sebagian lagi memilih menjadi pelanggan operator yang lain.
Karena itu, lanjut dia, agar pelanggan dari setiap operator dapat terhubung dengan pelanggan dari operator yang manapun, semua jaringan komunikasi itu harus saling tersambung (ber-interkoneksi).
Karena itulah Undang-Undang Telekomunikasi mewajibkan interkoneksi antar jaringan (Pasal 25 UU 36/1999 dan Pasal 20-25 PP No 52 tahun 2000).
Tanpa interkoneksi, masyarakat pengguna hanya bisa melakukan panggilan telepon on-net (dalam jaringan satu operator) dan tidak mungkin off-net (lintas operator).
Di sisi lain, jika tidak ada interkoneksi, masyarakat harus menjadi pelanggan semua operator dan memiliki SIM card minimal sebanyak jumlah operator.
“Jika dia hanya punya satu hp, maka dia harus buka-tutup hp untuk gonta-ganti SIM card agar bisa menelepon ke semua nomor. Atau dia harus punya banyak hp. Terbayang betapa ribetnya. Karena itu, interkoneksi diwajibkan demi melayani masyarakat,” paparnya.
Dia menambahkan hal yang menjadi perhatian dalam interkoneksi adalah berapa trafik outgoing-call ke operator lain dan berapa incoming-call dari operator lain.
Trafik dua arah ini menentukan selisih biaya antara (outgoing-traffic x tarif) dan (incoming-traffic x tarif).
“Orang bisa salah persepsi jika hanya melihat trafik satu arah,” jelasnya.
Jika trafik telepon ke operator lain (outgoing-traffic) sama dengan trafik yang diterima dari operator lain (incoming-traffic), kata dia, maka kedua operator itu sama-sama impas. Artinya, biaya interkoneksi yang harus dibayar sama dengan yang diterima.
Pada umumnya, operator besar menerima trafik lebih besar karena jumlah pelanggan yang besar, sehingga bisa menerima pembayaran biaya interkoneksi lebih besar daripada operator yang lebih kecil.
Sebaliknya, operator yang kecil harus membayar biaya interkoneksi yang besar untuk sekadar menyambungkan pelanggannya yang sedang menelepon pelanggan operator lain.
“Sungguh berbahaya menuduh atau melontarkan isu kerugian negara dalam hal interkoneksi. Padahal yang dinyatakan sebagai angka kerugian itu beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk sekadar bisa tersambung ke pelanggan dari operator yg berbeda,” paparnya.
Terkait hal ini, lanjut Nonot, amat menarik wacana SKA (sender keep all) yang digalang operator, karena jika benar SKA dijalankan maka heboh interkoneksi akan langsung berakhir. Sebab, dengan SKA berarti biaya interkoneksi adalalah nol.
“Evaluasi berkala biaya interkoneksi itu bisa dianalogikan dengan operasi pasar. Jika harga terlalu tinggi maka pemerintah harus memaksa turun harga demi masyarakat. Tidak bisa pedagang mengatakan pendapatan saya berkurang, lalu menggugat regulator telah menyebabkan kerugian pendapatan,” ucapnya.