TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi menilai, pasca pembubaran Petral yang merupakan anak usaha PT Pertamina (Persero) yang ditenggarai sebagai sarang mafia migas, ternyata tidak serta merta menghentikan mafia migas dalam pemburu rente.
Menurut mantan Anggota Reformasi Tata Kelola Migas ini, di awal pemindahan kewenangan impor bahan bakar minyak (BBM) dari Petral ke integrated supply chain (ISC), mafia migas masih saja merecoki dalam pengadaan impor migas.
Sejalan dengan semakin terbukanya tata kelola ISC dalam tender pengadaan migas, gerakan mafia migas semakin terbatas. Namun, mafia migas tidak surut dalam melakukan pemburuan rente dengan modus yang lebih canggih.
"Kasus Glencore dalam mengubah komposisi impor minyak tidak sesuai pesanan ISC merupakan salah satu modus terbaru mafia migas dalam pemburuan rente," ujar Fahmy di Jakarta, Senin (21/11/2016).
Selain Petral dan ISC, menurut Fahmy, SKK Migas juga menjadi sasaran empuk bagi mafia migas dalam pemburu rente. Lantaran SKK Migas mempunyai kewenangan yang sangat besar tanpa diimbangi tata kelola yang transparan.
Kewenangan tersebut diantaranya, memutuskan kontrak lahan migas, melakukan verifikasi cost of recovery, dan menjual minyak jatah pemerintah dari hasil kontrak bagi hasil.
"Ditersangkakan dua orang ketua SKK Migas oleh KPK dan Bareskrim menjadi indikasi bahwa mafia migas bergentayangan di SKK Migas," tutur Fahmy.
Ulah mafia migas dalam pemburu rente, baik di Petral maupun SKK Migas salah satunya disebabkan tidak ada tata kelola transparan yang diatur dalam UU Migas 22/2001.
Oleh karena itu, revisi UU Migas menjadi sangat urgent untuk segera diselesaikan dalam waktu dekat ini untuk menangkal mafia migas.
"Salah satu substansi yang harus diatur dalam revisi UU 22/2001 adalah tata kelola kelembagaan migas. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi telah tiga kali melakukan yudisial review," pungkasnya.(Iwan Supriyatna)