TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Mimpi Indonesia memiliki transportasi kereta api supercepat seperti halnya TGV (train a grande vitesse – Perancis) atau shinkansen Jepang yang melaju di atas 350 km per jam, barangkali tak akan terwujud.
Biaya yang sangat besar tak mungkin ditanggung APBN ataupun swasta lokal karena untuk mencapai titik impasnya sangat panjang.
Namun dimulainya pembangunan KA cepat Jakarta – Bandung oleh PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) cukup menghibur, walau kecepatannya tak akan sampai 300 km/jam.
KA ini akan beroperasi di jarak sekitar 146 km antara Bandara Halim Perdanakusumah (Jakarta Timur) ke Tegalluar, Gedebage, Bandung timur dalam waktu 90 menitan.
KA kecepatan sedang – istilah yang tidak dikenal di perkeretaapian Indonesia – antara Jakarta dan Surabaya sepanjang 685 km yang kini sedang dalam studi teknis, diharapkan terwujud pada 2019.
Dengan kecepatan maksimum 165 km per jam, KA ini direncanakan akan menempuh perjalanan selama 5 sampai 6 jam, jauh lebih baik dari KA Argo Anggrek di atas 10 jam, tercepat saat ini.
Proyek KCIC akan membuat jalur baru lewat kawasan perkebunan teh Walini.
Sementara KA Jakarta – Surabaya akan menggunakan jalur lama yang sudah berusia lebih dari 100 tahun antara stasiun Gambir (Jakarta Pusat) sampai stasiun Pasarturi atau Gubeng, Surabaya.
Setidaknya investor Jepang berminat, setelah gagal mendapat proyek Jakarta – Bandung hanya karena mereka minta pemerintah Indonesia ikut membiayai.
Investor China mau membiayai sepenuhnya dengan kompensasi membangun kawasan terpadu Walini (Jabar) dan kini pengerjaannya sudah dimulai dari Halim Perdanakusumah.
Studi teknis akan dikerjakan Kementerian Perhubungan bersama Jepang dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Saat ini sedang dicari pola pembiayaan yang paling baik, apakah B2B – business to business antarinvetor Jepang dan Indonesia, atau G2G antarpemerintah Indonesia dan Jepang, atau pola lain.
Harus sering dipecok
Secara kasat mata, menggunakan jalur (track) kereta api yang lama adalah langkah paling mudah dibanding membangun jalur baru yang harus dimulai dengan pembebasan tanah yang makan waktu.
Apalagi secara geografis jalur Jakarta – Bandung melewati pegunungan yang sebagian gundul dan berpotensi longsor seperti dialami PT KAI yang harus memindahkan jalurnya menghindari sungai bawah tanah di sekitaran Ciganea.
Namun tampaknya pelaksanaan proyek senilai Rp 40 triliun (3 miliar dollar AS) dengan stasiun persinggahan di Cirebon dan Semarang ini akan terkendala banyak persoalan yang sebelumnya harus dicari jalan keluarnya.
Masalah teknis operasional, struktur tanah, masalah sosial, dan sebagainya.
KA Argo Anggrek tak mampu menempuh jarak ini dalam sembilan jam seperti waktu diluncurkan bernama JS-950 pada tahun 1995, karena berbagai hambatan dan kini kecepatan maksimumnya di bawah 80 km/jam.
JS-950 artinya Jakarta-Surabaya 9 jam di usia RI 50 tahun (1995), ada juga JB-250, dua jam Jakarta – Bandung pada acara sama.
Jalur KA selalu menuntut perawatan yang sempurna karena makin tinggi kecepatan KA yang lewat, makin tinggi pula kemungkinan terjadi pergeseran rel terutama di tikungan akibat gaya sentrifugal.
Kecepatan tinggi juga berpotensi membuat berpencarnya batu-batu balast yang menunjang rel, sehingga harus sering dipadatkan (dipecok) agar tidak terjadi "gejrotan" yang berpotensi membengkokkan rel.
Tanah di jalur Jakarta – Surabaya yang hanya mampu mendukung KA kecepatan rendah dan harus dipadatkan lebih dahulu sampai kedalaman tertentu.
Tanpa itu, badan jalan dan rel akan berantakan dilewati kereta api kecepatan di atas 150 km/jam.
Hal lain, agak sulit mengoperasikan KA barang dan KA penumpang ekonomi yang kecepatannya rata-rata 50 km/jam dengan KA kecepatan medium tadi di satu track yang sama karena akan saling menghambat.
KA Argo Anggrek tidak pernah bisa tepat waktu karena di depan dan belakangnya acap ada kereta yang lambat.
Masalah sosial
Demi keselamatan, ada larangan dua rangkaian KA yang berbeda berada di satu petak jalan atau antarstasiun sehingga jika ada KA lambat di depannya, KA Argo harus menunggu kereta tadi masuk stasiun sebelum bisa menyalip.
Untuk itu perlu disiapkan SDM profesional di pusat kontrol yang mampu menangani manajemen waktu agar tercapai optimalisasi kinerja tiap jenis kereta.
Mungkin perlu jalur khusus untuk KA barang yang selain mengakomodasi kereta lambat juga membuka kesempatan penambahan jumlah perjalanan KA logistik. '
Tetapi proses ini tidak mungkin selesai dalam tiga tahun karena harus diawali pembebasan tanah seperti terjadi di double-double track Cikarang – Jatinegara.
Pelurusan tikungan (R-radial) juga wajib dilakukan karena terendah saat ini R-2000 (radial 2.000 meter), sementara untuk KA cepat idealnya R-10000, nyaris lurus yang kalau perlu membelah atau menembus bukit.
Selain itu ada sekitar seribu pintu perlintasan KA yang harus dihapus, diganti perlintasan di bawah atau di atas rel.
Masalah sosial menjadi masalah abadi bersamaan dengan makin padatnya permukiman baru di kiri-kanan rel yang berpotensi menambah perlintasan liar, sepanjang rel KA selevel dengan kawasan permukiman.
Tanpa penghapusan perlintasan liar, akan makin banyak korban manusia tersambar kereta api karena makin cepat KA makin makin panjang jarak pengeremannya.
Di Eropa atau Jepang yang kuat disiplin penduduknya, sepanjang rel KA tetap saja dipasangi pagar ketat.
Di jalur 5 kilometer antara stasiun Palmerah dan Kebayoran, setidanya ada lima tempat pagar yang diterobos.
Apa pun kendalanya, asal ada niat untuk mencarikan jalan keluar, proyek yang diharapkan selesai menjelang masa pemerintahan Jokowi – JK usai dapat terwujud.
Masyarakat akan menyambut baik dan orang akan lebih memilih naik kereta api dibanding pesawat walau harga tiket kedua moda itu sama, antara Rp 500.000 sampai Rp 600.000.
Penulis: Moch S. Hendrowijono