TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Budaya instan tampaknya telah merasuk ke seluruh sendi negeri ini. Tidak cuma tergambar pada pola masyarakat yang gemar makanan instan, pengambil kebijakan pun pilih mencari cara instan untuk mencapai tujuan.
Ini tergambar dalam salah satu kebijakan pemerintah untuk merealisasikan program swasembada pangan maupun pembangunan infrastruktur.
Salah satu alat yang dibutuhkan untuk proyek-proyek ini selain alat-alat berat dan mekanisasi pertanian, adalah cangkul.
Ya, sekilas alat bercocok tanam paling tradisional ini memang sepele, dan mungkin sudah lebih dari ratusan tahun silam dipakai petani maupun pekerja bangunan di bumi nusantara.
Tapi siapa mengira jika untuk mencukupi kebutuhan terhadap produk ini, Indonesia harus impor dari China.
Persoalan cangkul asal China ini mencuat saat satu kontainer berisi 86.160 unit kepala cangkul dari China masuk lewat Medan, Sumatra Utara.
Pengimpornya adalah perusahaan pelat merah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Mereka mendapatkan izin mengimpor kepala cangkul sebanyak 1,5 juta potong, yang sedianya akan didatangkan sejak Juni 2016 sampai Desember 2016 ini.
Mengapa senjata utama bagi petani harus diimpor? Apakah tukang pandai besi lokal sudah tidak mampu atau tidak mau memproduksi lagi?
Seorang pedagang besar peralatan pertanian di bilangan Tanah Abang yang enggan disebutkan namanya menceritakan, cangkul impor sebenarnya bukan barang baru di negeri ini.
Ia mengaku kerap mendapat pasokan cangkul impor ini dan ia salurkan kepada instansi pemerintah yang ingin harga murah dan partai besar.
“Klien kami dari instansi pemerintah dan swasta yang rutin pengadaan barang dalam partai besar untuk proyek-proyek, sehingga harus ada kepastian stok barang,” bebernya.
Bahkan ia menyebut sejak tahun 2000 lalu impor cangkul asal China ini sudah lazim. Pertimbangan pedagang, dari sisi kualitas dan harga, cangkul buatan China lebih bersaing. Walhasil pedagang lebih senang menjual cangkul impor ketimbang cangkul produksi lokal.
Pertimbangan lain, cangkul impor ada jaminan stok berlimpah selain margin untungnya lebih tebal. “Kalau cangkul lokal yang kualitasnya bagus harganya mahal.
Tapi pengiriman nya kadang lama, dan enggak pasti ada. Jadi kami susah jualannya,” aku dia blak-blakan.