TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegawai PT Pertamina (persero) yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menolak pengembangan kilang minyak (Refinery Development Master Plan / RDMP) di Kilang Cilacap oleh Saudi Aramco.
Menurut FSPPB skema joint venture Saudi Aramco dengan Pertamina hanya merugikan negara.
Presiden FSPPB Noviandri menjelaskan RDMP di kilang Cilacap butuh anggaran 5 miliar dollar AS.
Menurut Noviandri uang sebesar itu sudah dimiliki perseroan, hal itu terbukti ketika Pertamina melakukan RDMP pada kilang di Balikpapan yang jauh lebih besar dibandingkan di Cilacap.
"Padahal Pertamina terbukti memiliki kemampuan untuk melakukan RDMP sendiri," ujar Noviandri di kantor pusat Pertamina, Jakarta, Selasa (27/12/2016).
Saudi Aramco menjanjikan kerjasama kembangkan kilang Cilacap bisa meningkatkan produksi minyak untuk BBM. Saudi Aramco juga menawarkan bahan baku minyak dari Aramco tanpa harus impor minyak dari negara lain.
Menurut Noviandri janji dan tawaran yang diberikan Saudi Aramco bukan hal pasti di dalam skema Joint Venture. Apalagi pembagian saham 55 persen untuk Pertamina dan 45 persen untuk Saudi Aramco kata Noviandri belum pasti.
"Seharusnya langkah RDMP bisa ditangguhkan sementara waktu sampai Pertamina benar-benar siap secara manajemen dan finansial," ungkap Noviandri.
Kerugian lain, kata Noviandri, adalah hasil kilang yang di JVkan tersebut pada akhirnya harus berbagi dengan asing. Selama Joint Venture berlangsung maka Pertamina harus membagi hasil eksplorasi dan pengembangan produk minyak dan gas dengan Aramco.
"Pertamina akan suaah mengumpulkan modal untuk pengembangan kilang diberbagai wilayah di Indonesia," papar Noviandri.