TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mendukung langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk memutuskan hubungan kerja dengan JP Morgan Chase Bank.
Pasalnya lembaga riset yang berpusat di New York dan London mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional.
"Saya sendiri belum baca (riset JP Morgan), tapi bahwa Menteri Keuangan sudah mengambil langkah itu sudah baik," ujar Darmin di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (3/1/2017).
Menurut Darmin lembaga riset internasional memberikan analisis yang tidak sesuai standar perekonomian Indonesia. Karena hal itu hasil riset dari JP Morgan dinilai pemerintah Indonesia tidak kredibel.
"Memang ini (JP Morgan) terlalu yang melakukan analisis, yang memberikan ranking ini jauh-jauh bedanya," ungkap Darmin.
Darmin pun mengaku tidak tahu standar apa saja yang diambil JP Morgan untuk penilaian perekonomian Indonesia. Kendati demikian Darmin menilai hal tersebut adalah hak JP Morgan sebagai lembaga riset.
"Nggak tahu ya standarnya apa sebetulnya. Ya kita secara ini baik-baik aja di dalam penilaian analis," kata Darmin.
Sebelumnya diberitakan, pemutusan kontrak dengan JP Morgan Chase berlaku efektif per 1 Januari 2017.
Lalu, apa sebenarnya riset JP Morgan yang dianggap Kemenkeu berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan?
Mengutip situs Barron's Asia, strategist ekuitas negara-negara berkembang JP Morgan menggeser alokasi portfolio mereka, menurunkan Brazil dari Overweight ke Netral, menurunkan Indonesia dari Overweight ke Underweight, dan Turki dari Netral ke Underweight.
JP Morgan tak menjelaskan secara rinci terkait alasan melakukan downgrade atas Indonesia dan Brazil. Namun, JP Morgan menyatakan, pasca pemilu AS, imbal hasil obligasi 10 tahun bergerak dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen.
"Pasar obligasi mulai price in pertumbuhan yang lebih cepat dan defisit yang lebih tinggi. Peningkatan volatilitas ini meningkatkan premi risiko negara berkembang (Brazil, Indonesia Credit Default Swap) dan berpotensi menghentikan atau membalikkan aliran (modal) ke fixed income negara berkembang," demikian riset JP Morgan yang dikutip Barron's.
Barron's menyatakan, kekhawatiran tentang Indonesia meningkat sejalan dengan meningkatnya tekanan sosial di Jakarta. Hal ini terkait dengan aksi unjuk rasa terkait isu penistaan agama.
Pada tahun 2016, investor asing melakukan aksi beli di pasar saham Indonesia sebesar 2,4 miliar dollar AS.
Namun, Barron's menulis, sejalan dengan peningkatan imbal hasil obligasi AS, maka investor asing bisa saja kabur.