TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu bankability atau kelayakan pembiayaan oleh perbankan diduga menjadi kendala di megaproyek PLTGU Jawa 1. Pihak bank pemberi pinjaman (lenders) menemukan ada sekitar 90 isu ketidakkonsistenan PLN dalam melakukan tender.
Pihak bank meminta jaminan yang menyatakan proyek akan bisa berjalan. Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi menyatakan, ada dalam proses negoisasi antara PLN dengan konsorsium peserta tender.
“Jika di tengah jalan PLN menyebutkan ada persoalan dalam masalah bankability, hal ini tentu menjadi pertanyaan mengenai kesiapan PLN dalam menggelar proses tender proyek tersebut,” ungkap Ahmad Redi dalam keterangan persnya kepada Tribun, Selasa (24/1/2017).
Terkait kekeliruan dalam perhitungan pasokan LNG untuk proyek tersebut, Redi menilai hal tersebut perlu dinegoisasikan secara jelas.
Menurutnya, tidak tepat jika temuan kekeliruan penghitungan ini diatasi dengan menggelar lelang modifikasi FSRU (floating storage and regasification unit atau terminal terapung penerima dan regasifikasi)
Berdasar hasil evaluasi PLN, akhir September 2016 lalu, tender proyek pembangkit PLTGU Jawa 1 sebelumnya dimenangi konsorsium PT Pertamina (Persero) bersama Marubeni Corporation dan Sojitz Corporation.
Perbedaan penawaran harga antara konsorsium Pertamina cs dengan urutan kedua, konsorsium Adaro dan konsorsium Mitsubishi mencapai 2,3 miliar dolar AS-2,4 miliar dolar AS sepanjang periode kontrak.
Menurut sebuah sumber yang tak mau dikutip namanya, PLN memang telah menetapkan pasokan LNG untuk PLTGU Jawa 1 dari Tangguh dengan desain kapasitas kapal yang dapat diterima oleh FSRU dengan desain kapasitas kapal sebesar 125.000-155.000 m3.
Sementara, dalam lima tahun ke depan, kapal-kapal LNG milik Tangguh sudah diganti dengan kapal kapasitas 170.000 m3.
Sumber tersebut menduga, ada kemungkinan pihak PLN akan meminta pemenang lelang memodifikasi fasilitas FSRU agar sesuai dengan kebutuhan saat ini yang dikhawatirkan akan menjadi beban bagi konsorsium pemenang tender.
Kabar lain, PLN memang akan memberi jaminan pasokan LNG untuk proyek PLTGU Jawa 1. Namun, apabila terjadi gangguan pasokan LNG, PLN tidak akan mengganti kerugian dalam waktu 30 hari sampai PLN mendapatkan LNG pengganti. Ini dianggap unfair risk allocation dan juga menjadi isu bankability.
Terkait dengan pemasokan gas LNG untuk PLTGU Jawa 1, Redi menilai, harus sudah ada kesepakatan sejak awal proses negoisasi pembuatan perjanjian jual-beli (power purchase agreement/PPA)-nya.
Menurutnya, klausul dalam PPA akan mengikat jika kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat.
“PPA ini kan bagian dari rezim kontrak yang hanya bisa batal demi hukum dengan dua syarat kondisi. Pertama, pihak-pihak yang terlibat bersepakat untuk mengubah atau membatalkannya secara keseluruhan. Kedua, dibatalkan oleh pengadilan,” sebut staf pengajar di Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini.
Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso dalam konferensi pers Selasa (17/1/2017) pekan lalu menyebutkan sedikitnya ada delapan masalah yang menyebabkan belum tercapainya penandatanganan kontrak jual-beli listrik dengan konsorsium Pertamina cs.
Mengutip Kontan, Kamis (19/1/2017), PPA seharusnya bisa diteken 45 hari setelah ditentukan pemenang, yakni pada 26 Oktober 2016 lalu.
Agar proyek ini bisa terus berjalan PLN berharap Konsorsium Pertamina bersama Marubeni dan Sojitz bisa menyepakati ketentuan-ketentuan tender yang sudah disepakati di awal.
PLN kemudian menjanjikan memberikan batas waktu hingga Senin (23/1/2017) pekan depan kepada Konsorsium Pertamina untuk meneken PPA.
Redi menilai dengan menganalisis berbagai temuan kesulitan yang ada saat ini, penandatanganan PPA PLTGU Jawa 1 berpeluang tertunda.
“Sebetulnya hal ini sangat disayangkan, ketika proyek ini siap untuk dieksekusi, terhambat oleh negoisasi PPA yang alot," ungkapnya.
PLTGU Jawa 1 merupakan bagian dari rencana pemerintah membangun megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW yang dirintis era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kini dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.