TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Alih-alih padam, konflik di tubuh perusahaan minyak milik negara, Pertamina, makin berkobar hebat. Tiada jalan lain, dua petinggi Pertamina dicopot demi memadamkan api.
Kemarin, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno mencopot Dwi Soetjipto dari Direktur Utama Pertamina, dan wakilnya, Ahmad Bambang.
Keputusan ini sesuai dengan rekomendasi Dewan Komisaris Pertamina. "Atas dasar pertimbangan itu, kami ambil keputusan itu," kata Rini seusai melapor kepada Presiden Joko Widodo, Jumat (4/2/2017).
Baca: Nama-nama Ini Disebut-sebut Bakal Jadi Dirut Baru Pertamina Gantikan Dwi Sutjipto
Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng menyatakan, Dewan Komisaris Pertamina akan mencari talenta baru untuk mengisi posisi direktur utama. Kandidatnya bisa dari dalam maupun dari luar Pertamina.
"Mudah-mudahan tidak perlu 30 hari sudah ada direktur utama yang baru," ujar Tanri.
Dia menambahkan, pertimbangan pencopotan itu akibat konflik antara Dwi dan Bambang, sehingga menyebabkan macetnya roda organisasi Pertamina.
Bahkan posisi Wakil Dirut Pertamina justru mengganjal kerjasama tim di Jakarta. Alhasil, dewan komisaris yang semula mengusulkan posisi wakil dirut, merekomendasikan posisi ini dihapus lagi.
Yang jelas, bibit bara konflik itu mulai tampak sejak awal Bambang menjabat posisi nomor dua di Pertamina. Ada sejumlah hal yang menjadi indikasinya.
Konflik ini jelas tak hanya merugikan Pertamina, melainkan juga negara. Sebab, perusahaan migas itu tengah menggotong proyek infrastruktur negara di bidang migas senilai Rp 700 triliun.
Berikut beberapa sinyal konflik Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang, berdasarkan riset dan wawancara yang Kontan himpun:
1. Tidak ada komunikasi antara Dwi dan Ahmad Bambang. Misalnya, apabila dirut ke luar kota, tandatangan harus dilakukan oleh wadirut.
Kenyataannya, itu tidak terjadi sehingga membuat keputusan menjadi lambat.
2. Lambatnya pemilihan 20 posisi strategis di Pertamina yang harus diganti dan diisi dengan orang baru.