TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengatakan, ekstensifikasi barang kena cukai bisa menjadi alternatif ketika pendapatan pajak serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) belum dapat diandalkan dalam kondisi saat ini.
"Mencermati situasi dan kondisi 2017 yang krusial, selain tindak lanjut data amnesti pajak, pemerintah perlu mencari alternatif sumber penerimaan agar APBN stabil. Jelas bahwa penerimaan Kepabeanan dan PNBP tidak dapat diandalkan saat ini, terlebih bergantung pada utang luar negeri. Di sisi lain, cukai dapat menjadi pilihan jitu sebagai penerimaan," kata Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo di Jakarta, Kamis (9/2).
Selama kurun 2007-2014, realisasi penerimaan cukai selalu di atas target. Namun, rasio penerimaan cukai terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain, yaitu 1,2 persen. Angka ini berbeda jauh dengan Bolivia, Turki, Denmark, masing-masing 7,8 persen, 5 persen, dan 4,3 persen.
Salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya objek cukai. Ini membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan ekstensifikasi barang kena cukai.
Yustinus menjelaskan, dengan pertimbangan eksternalitas dan best practice di negara lain, penambahan objek cukai baru yang dapat dipertimbangkan adalah minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak.
Dengan skema tarif terendah dan tertinggi, pengenaan objek cukai baru ini mampu menghasilkan tambahan penerimaan Rp 28,52 triliun-Rp 103,26 triliun atau 18,11 persen-65,69 persen dari target cukai dalam APBN 2017.
"Dengan demikian, tujuan cukai sebagai pengendalian konsumsi terpenuhi, namun perannya sebagai instrumen penerimaan negara optimal. Selain itu, keberanian Pemerintah menambah objek cukai juga menjadi batu uji dan menunjukkan komitmen pada konsolidasi fiskal yang sehat dan bukti bahwa kebijakan yang responsif dan terukur, selain menguntungkan rakyat juga menjaga kesinambungan fiskal," papar Yustinus.
Sementara itu, anggota DPR RI Komisi XI Andreas Eddy Susetyo mengaku sepakat dengan ekstensifikasi cukai. DPR menurutnya, sudah dua kali bertemu di pekan ini untuk membahas penambahan objek baru cukai. Hal utama yang menjadi permasalahan adalah, saat ini 90 persen cukai bertumpu pada rokok. Padahal, objek lain pun harus dikenai cukai.
“Kalau kita lihat definisikan arti cukai sebagai pembatasan, coba kita hitung, berdasarkan data kesehatan dari BPJS berapa orang yang terkena penyakit diabetes?” kata Andreas. Data ini belum pernah dibahas secara serius.
Lalu, mengenai konsumsi bahan bakar minyak (BBM), Indonesia sekapat untuk berkomitmen menurunkan emisi karbon dalam Paris Agreement. Sehingga, kata Andreas, BBM pun bisa dijadikan objek cukai baru.
“Saya kira ekstensifikasi ini, terutama di cukai, bisa menjadi salah satu pilihan yang sebetulnya sangat vital untuk meningkatkan penerimaan negara, di samping tindak lanjut dari pada tax amnesty,” tuturnya.
Andreas mengingatkan, tahun ini risiko inflasi dan penerimaan negara akan menjadi tantangan utama. “Untuk itu ekstensifikasi menjadi solusi yang harus diperhitungkan secara cepat,” tuturnya.
Sementara itu, Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi, menjelaskan bahwa usulan ekstensifikasi akan terus dikaji, terutama barang yang sudah melewati proses kajian, seperti plastik.
"Kita akan melakukan kajian-kajian lanjutan dari apa yang kita sudah selesaikan sekarang, yaitu plastik. Mengenai apa saja tentu nanti setelah kajian itu lengkap dan dibicarakan antar instansi dan pihak-pihak terkait, apakah itu sektor dan pelaku," papar Heru beberapa waktu lalu.
Heru mengatakan, pada banyak negara, memang banyak sekali barang yang dikenakan cukai. Ini bergantung kepada fokus pemerintah agar mampu menciptakan keselarasan antara konsumsi masyarakat dan penerimaan negara.