Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan meminta PT Freeport Indonesia tidak menggunakan isu pemecatan karyawan dalam mencapai keinginannya.
Hal tersebut diungkapkan Jonan terkait wacana perusahaan asal Amerika Serikat itu, berkeinginan membawa persoalan izin pertambangannya ke arbitrase internasional.
Menurut Jonan, persoalan ke abitrase adalah langkah hukum yang menjadi hak siapapun, namun pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapapun secara hukum, karena hasil dampaknya akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
"Namun langkah itu jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan pemerintah," kata Jonan dalam keterangannya, Sabtu (18/2/2017) malam.
Jonan menilai, korporasi global selalu memperlakukan karyawannya sebagai aset yang paling berharga dan bukan dijadikan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata.
"Pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baik investasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali," kata Jonan.
Baca: Sugeng Rawuh di Solo Pak SBY
Kabar Freeport Indonesia akan menggugat pemerintah telah muncul sejak 2015, dimana rencana awalnya akan melayangkan gugatan ke Badan Arbitrase Internasional pada Juli 2016 jika perpanjangan kontrak karyanya ditolak oleh pemerintah.
Pengamat Energi Said Didu mengatakan, persoalan perpanjangan kontrak Freeport selalu menjadi masalah krusial yang selalu dihadapi oleh pemerintah.
Sehingga, siapapun pemerintahannya ketika tiba waktu perpanjangan kontrak pasti akan menghadapi dilema yang butuh ketegasan pemimpin.
"Walaupun kontrak Freeport baru selesai tahun 2021 tapi pihak Freeport meminta kepastian perpanjangan kontrak sejak 2015. Permintaan itu dilakukan dengan pertimbangan untuk mendapatkan kepastian investasi tambang bawah tanah dan pembangunan smelter," kata Said.
Berdasarkan informasi yang diterima Said secara tidak resmi, jika Freeport ajukan arbitrase diperkirakan akan menuntut pemerintah ganti rugi sekitar Rp 500 triliun.