TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negosiasi Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia masih alot. Padahal pemerintah sudah memberikan opsi agar perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tetap bisa ekspor konsentrat.
Opsi tersebut yaitu mengubah statusnya dari Kontrak Karya (KK) jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Tapi amun Freeport enggan menerima status itu sebelum ada kepastian sistem perpajakan yang tetap (nail down) seperti ketentuan di KK.
Padahal menurut Direktorat Jenderal Pajak, Freeport justru bisa membayar pajak seusai sistem prevailing lebih rendah bila mengubah statusnya dari KK ke IUPK. Sebab pajak perusahaan tambang sedang mengalami trend penurunan.
Lantas mengapa Freeport begitu ngotot meminta pajak tetap?
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, permintaan Freeport tidak terlepas dari cara pandang bisnis jangka panjang.
"Perusahaaan dengan kontrak panjang dan investasi besar, (akan cenderung) memilih nail down supaya bisa membuat prediksi dan proyeksi (jangka panjang)," kata Yustinus kepada Kompas.com, Jakarta, Minggu (26/2/2017).
Baca: Pengamat: Perselisihan Freeport dan Pemerintah RI Jangan Sampai Berujung ke Arbitrase
Perusahaan dengan kontrak panjang dan investasi besar justru dinilai akan kesulitan membuat prediksi dan proyeksi bisnis jangka panjang bila menggunakan pajak prevailing.
Sebab dengan sistem itu tarif pajak bisa berubah-ubah. Meski begitu bukan berarti tidak ada perusahaan besar yang menggunakan pajak prevailing.
Di sektor tambang, Newmont yang kini bernama Amman, juga menggunakan pajak prevailing. Kasus Amman ini tutur Yustinus, kerap dijadikan dasar untuk mempertanyakan mengapa Freeport tidak mau pajak prevailing.
Namun ia melihat ada perbedaan antara Freeport dan Amman. "Jawabannya, dan ternyata banyak pejabat enggak paham, karena Amman tidak membangun tambang bawah tanah yang butuh investasi besar, maka dia tidak perlu certainty jangka panjang," ujarnya.
Baca: Tiga Kerakusan Bisnis Freeport Menurut Versi Jaringan Advokasi Tambang
Ia menyarankan pemerintah untuk tidak melihat persoalan Freeport dari sudut panjang penerimaan negara semata namun juga dari investasi. Harus ada pertimbangan lain yang dimasukan dalam komponen perhitungan kebijakan terkait pajak.
Pajak Freeport
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai keberatan PT Freeport Indonesia terkait persoalan pajak adalah hak perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu.
Hanya, keberatan itu justru memunculkan pertanyaan."Saya kira mereka perlu menghitung ulang apakah benar (menjadi) IUPK menimbulkan beban pajak baru dan merugikan mereka?," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama.
Menteri Koordinator Perekonomian (Menko) Darmin Nasution sudah menegaskan bahwa tidak perlu ada insentif khusus kepada PT Freeport Indonesia atas persoalan pajak.
Baca: Kasus Freeport Seperti De Javu, Masalah Sama dan Selalu Berulang
"Sebenarnya enggak perlu insentif khusus. Dia hanya ribut, bukan ribut lah, dia meminta pajaknya yang seperti dulu itu (seperti di KK)," kata Darmin di Jakarta, Rabu (15/2/2017).
Pemerintah sendiri tidak bisa memberikan jaminan itu begitu saja. Sebab umur setiap pemerintahan maksimal hanya 10 tahun, itupun bila terpilih di periode ke dua. Hingga saat ini, negosiasi dengan Freeport masih alot.
CEO Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson mengancam akan membawa persoalan tersebut ke arbitrase internasional bila tidak ada kesepakatan dengan pemerintah.
Namun Menteri ESDM Ignasius Jonan menantang balik Freeport dan siap melaporkan Freeport ke arbitrase.
Penulis: Yoga Sukmana