TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mungkin tidak banyak orang mengenal Rudy Lie, pendiri sekaligus Presiden Direktur PT Bet Obaja International, yang kini memiliki enam anak usaha di bisnis tour and travel.
Sebelum merintis bisnis, Rudy adalah marketing officer di Bank Central Asia (BCA).
Bersama perusahaan yang dikelolanya saat ini, Rudy membawahi 300 karyawan dengan omzet perusahaan Rp 1,13 triliun di tahun 2016 dan Rp 1,5 triliun di proyeksi 2017 ini.
Rudy mendirikan usahanya saat keadaan ekonomi negara sedang kacau, pada tahun 1998.
Saat itu, Rudy diminta menjadi kepala cabang BCA di Jakarta Pusat. Namun karena saat itu banyak orang menarik uangnya (rush), BCA pun mengurungkan niat untuk membangun kantor cabang.
"Tidak jadi dibuat. Saat itu BCA ingin diambilalih pemerintah," ungkap pria kelahiran Medan, 29 September 1975.
Baca: Rudy Lie Mendirikan Bisnis Tour & Travel dari Garasi Rumah (Bagian 1)
Tak berapa lama, Rudi memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan yang dulu dimiliki Salim Grup itu.
Dia bersama Freddy Chandra, sahabatnya yang kini menjadi Direktur Operasional Obaja, sepakat menjadi perantara penjual tiket.
"Saya waktu itu bantu teman untuk menjual tiket Merpati. Modal awal kami waktu itu Rp 100 juta," ujarnya di kantor cabang Obaja di Epicentrum, Jakarta Selatan.
Selain menjual tiket dari Merpati, ia juga menjual tiket pesawat untuk Tenaga Kerja Indonesia. "Belum ada reservation. Telepon dan telepon saja, masih jadi perantara," ungkapnya.
Bersama sang teman, Rudy bekerja di garasi mobil setiap hari.
"Ada yang bilang ini travel atau gudang, nama Obaja pun menjadi olok-olok saat itu," imbuh dia.
Namun demikian, dari lima orang pegawai termasuk dirinya, Obaja kini memiliki 300 karyawan di 12 cabang perusahaan.
Setelah usahanya berjalan selama 1,5 tahun, Rudy menyadari bahwa jika ingin besar harus membuat badan hukum. Maka sekitar tahun 2001 Obaja pun memiliki badan hukum.
Baca: Kunci Sukses Bisnis Tour & Travel Rudy Lie: Tidak Cari Utangan ke Bank (Bagian 2)
Dari sana kemudian Obaja Tour and Travel terus menanjak. "Dari 2001 sampai 2017 kinerja kami tidak pernah menurun," ujarnya, Senin (20/3/2017).
Dia mengatakan, tahun 2001 adalah puncak di mana perusahaan terus menanjak dari sisi jumlah coustumer. Salah satu upayanya adalah melakukan berbagai diversifikasi bisnis.
Misalnya, perusahaan melakukan bisnis dengan para travel agen kecil yang tidak bisa menjual tiket maskapai ke konsumen secara langsung, karena tidak berstatus member International Air Transport Association (IATA).
Dia mengatakan, jumlah agen travel yang belum menjadi agen IATA sangat banyak.
"Kami bekerjasama dengan ratusan agen travel itu. Memang pasti ada risiko. Tetapi saya ingin risikonya di bawah 5% saat pertama kali bekerjasama," ungkap dia.
Rudy menyatakan, saat ini pihaknya bekerjasama dengan agen travel yang menjual tiket di Bandung, Jakarta, Surabaya.
"Syaratnya agar tidak bodong harus berbadan hukum dan saya kurangi lagi risikonya jadi 3% sekarang," imbuh dia.
Dia menyadari bahwa menjual tiket melalui pihak ketiga memang penuh risiko. Untuk itu, perusahaan terus menjaga risiko dengan cara melakukan sanksi suspend bagi yang tidak benar.
Pihak ketiga harus membayar hasil penjualan dalam tempo yang sudah ditetapkan. "Istilahnya mereka mendapat fee atas penjualan tiket dan kompensasi," imbuh dia.
Reporter: Azis Husaini