TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mimpi mengembangkan kampung halaman mendorong Sri Sujarwati (52) berhenti berkarier sebagai karyawan kantoran di tahun 2005 dan banting setir membangun usaha Desa Wisata.
Dia merintis usaha dengan memanfaatkan produk unggulan daerahnya, salak pondoh, menjadi bentuk yang lebih beragam dan bernilai jual tinggi.
Sebelumnya, Sri Sujarwati 20 tahun menjalani karier di dunia penerbangan. Posisi terakhirnya adalah Sekretaris Country Manajer Saudia Air Line Ddivisi Jakarta.
"Kala itu saya ditempatkan di Kuwait. Perang sedang berkecamuk di Irak. Makanya saya ingin menyudahi karier saya untuk membangun desa kelahiran,” kenang Sujarwati.
Sri kemudian pulang kampung membangun desa kelahirannya, Kembang Arum, Turi, Sleman, Yogyakarta.
Desa kelahiran Sujarwati merupakan desa penghasil salak pondoh. “Saya prihatin, harga buah salak pondoh terus ‘terjun bebas’ saat panen raya,” terang Sujarwati.
Sujarwati kemudian mengajak warga desa untuk membuat Desa Wisata yang diberi nama Dewi Kembar. “Waktu itu sudah kepikiran mau bikin produk kreatif jadi harus ada wadah pemasarannya. Nah, Desa Wisata itulah jawabannya,” jelasnya.
Tak cuma mendirikan Desa Wisata, Sujarwati juga mengedukasi masyarakat bagaimana harus bergaul dan menyambut wisatawan yang datang, hingga cara mengemas makanan tradisional agar menarik.
Harga jual buah salak pondoh kemudian didongkrak dengan cara ditetapkan bersama kelompok tani di desanya menjadi paling rendah Rp3 ribu per kilo saat panen raya.
Akibat Pernah Koma
Setelah Desa Wisata berjalan dan dikenal orang, tahun 2010 Sujarwati mulai melakukan uji-coba membuat keripik salak. Namun, belum juga upayanya berhasil, Gunung Merapi di Yogyakarta mengalami erupsi hingga usahanya terhenti.
Tahun 2011 setelah Merapi reda, Sujarwati berbenah lagi. Kali ini usahanya menampakkan hasil. Dari sekian kali uji coba, Sujarwati menemukan kriteria jenis salak yang cocok dijadikan bahan baku keripik.
“Hanya jenis salak pondoh super yang bagus. Dan dari 12 kilo, setelah diproses hanya jadi sekilo. Itu sebab harga jualnya jadi tinggi, Rp15 ribu per ons dengan kemasan aluminium foil,” terangnya.
Bagaimana dengan salak kualitas nonsuper? “Bisa diolah jadi produk turunan lain seperti dodol, geplak, bakpia, sirup, sari buah salak, dan lainnya. Bahkan, terakhir kulit salaknya pun bisa dijadikan teh.”
Yang heboh adalah biji salak, yang oleh Sujarwati diolah menjadi bubuk kopi yang bermanfaat untuk menurunkan kadar gula darah, kolesterol, dan asam urat.
Olahan bubuk biji salak berwarna hitam itu bermula dari kondisi Sujarwati yang sempat jatuh koma akibat kelelahan. Ia juga punya riwayat diabetes, kolesterol serta asam urat.
“Asam urat saya tinggi, kadar gula darah bahkan pernah sampai 1000mg/dl. Saya jatuh sakit dan koma di rumah sakit,” terang Sujarwati.
Kopi Salak
Beruntung, Sujarwati masih diberi umur panjang. Setelah beberapa saat berobat ke dokter, suatu hari ia ingat kearifan lokal yang diajarkan orang tua.
"Zaman orang tua saya, diabetes diobati dengan merebus salak muda berikut tunas pohon salak. Tapi saya tidak tega merebus tunas salak yang menghidupi saya,” katanya.
Tahun 2012, ia mencoba menyangrai biji salak lalu ditumbuk dan diayak. Hasilnya menyerupai bubuk kopi. Ia pun meminum bubuk biji salak itu sehari tiga kali.
Ternyata kadar gula darah, asam urat, dan kolesterolnya turun drastis. Kadar gula darah misalnya, turun dari 1000mg/dl menjadi 800mg/dl, lalu 600mg/dl, sampai akhirnya ke titik normal.
Belakangan setelah melalui uji laboratorium, ternyata biji salak mengandung antioksidan, tinggi serat, dan bermanfaat sebagai pencahar.
“Pernah saya minum sehari enam kali, lemak di perut saya keluar. Tapi cuma sekali. Perut saya terasa enak dan tidak buncit lagi.”
Pasca penemuan manfaat bubuk biji salak, ibu dua anak ini kedatangan tamu guru besar dari LPPP UGM, salah satunya Prof. Wahyu Sukartono, yang ternyata juga mengajar di Jerman.
“Setelah saya ceritakan manfaat biji buah salak, tahun 2014 Pak Wahyu membawa bubuk biji salak itu ke Jerman untuk diuji di laboratorium.”
Hasilnya, ternyata kopi salak tidak mengandung kafein karena memang bukan kopi. Ia juga mengandung plafonoit yang mampu memperbaiki sel-sel yang rusak. Selain itu juga mengandung pectin yang bermanfaat sebagai antikanker.
Naik Turun Usaha
Dari sini, Sujarwati pun mulai berani meluncurkan produk kopi biji salak. “Ternyata sambutan pasarnya baik. Saya jual per ons Rp25 ribu untuk 15 kali minum.
Sekarang sudah dikemas dengan aluminium foil sehingga menarik,” lanjut Sujarwati yang tak pernah kekurangan bahan baku kopi salak karena semua olahan pangan yang ia produksi menghasilkan limbah biji salak.
Untuk membuat semua produk dan mendirikan Desa Wisata Dewi Kembar, awal mulanya Sujarwati harus merogoh kocek sendiri sekitar Rp 300 juta.
Dari modal tersebut dipergunakan untuk membeli bahan baku, alat produksi serta tenaga kerja. Mengingat usaha tersebut masih bersifat pemula maka Sujarwati belum percaya diri untuk menggunakan modal dari perbankan maupun investor.
Di sisi lain ia juga masih memiliki kewajiban untuk membiayai sekolah anak-anak yatim piatu yang ia angkat dan asuh. Sebagian anak-anaknya itulah yang kini membantu usahanya.
Toh, usahanya sempat tak berjalan mulus dan ia terpaksa harus jatuh bangun, terutama saat bereksperimen menciptakan produk baru seperti carica dan dodol. Tidak ada yang mengajarinya membuat produk.
“Semua adalah hasil uji coba yang panjang. Kalau gagal, saya bagikan ke tetangga. Satu-satunya pelatihan yang saya dapat adalah membuat carica salak di pabrik carica Wonosobo.
Intinya dalam mengelola usaha, jangan pernah berhenti berusaha. Kegagalan adalah suplemen untuk kesuksesan di hari mendatang, terus mencoba untuk mendapatkan hasil terbaik.”
Ketekunannya kini berbuah manis. Tak hanya sukses berbisnis, ia juga sering diundang menjadi narasumber.
Awalnya, Sujarwati memakai sistem titip jual ke supermarket dengan sistem bayar konsinyasi. Namun, sistem titip jual rupanya memberatkan keuangan sehingga akhirnya ia memutuskan menjualnya langsung ke konsumen.
Rajin mengikuti berbagai pameran membuat produknya akhirnya dikenal konsumen. “Yang paling terasa saat liburan atau lebaran. Pembeli konvoi mampir ke toko saya di Kembang Arum.”
Dipasarkan Sendiri
Tahun 2013, Sujarwati memutuskan mengambil Kre-dit Usaha Rakyat di Bank BRI. Selain untuk me-nambah modal usaha, untuk alat produksi serta kemasan produk.
“Sebelumnya saya belum berani me-ngambil kredit karena takut ti-dak bisa bayar. Namun setelah men-dapatkan pemahaman manfaat da-ri kredit untuk pengembangan usa-ha, maka saya pu-tuskan untuk me-ngambil kredit,” tuturnya.
Kini Sujarwati erat bergande-ngan dengan Bank BRI. Selain ingin menambah bantuan modal guna me-wujudkan pabrik olahan salak yang modern, ia juga menginginkan manfaat kerja sama yang lain seperti peningkatan kapasitas, pe-ngembangan pemasaran melalui event pameran.
Bila di awal usaha keuntungan yang ia peroleh bisa mencapai Rp25-50 juta per bulan, kini sudah mencapai Rp50-100 juta.
“Tapi saya tidak mau senang sendiri. Keuntungan terbesar saya gunakan untuk amal, membiayai sekolah anak-anak angkat saya. Istilah saya living for life,” katanya.
Permintaan produknya pun makin meningkat, sehingga dia mampu memberdayakan masyarakat sekitar di antaranya petani salak yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani salak se-Kecamatan Turi untuk memasok hasil salak kepadanya.
Selain itu juga pengarajin keranjang anyaman bambu karena konsumen lebih menyukai kemasan yang alami. Sehingga dari usahanya tersebut tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga namun juga kesejahteraan masyarakat sekitar.
Selain mimpi punya pabrik modern, Sujarwati juga ingin “menyulap” rumah joglonya menjadi lokasi kuliner serba salak. Belakangan, Sujarwati menerima tawaran dari sebuah marketplace besar untuk memasarkan produknya di 7 negara.
Desa Wisata Dewi Kembar pun makin luas dikenal. Tak cuma warga biasa dari luar DIY yang berkunjung, tokoh-tokoh politik seperti keluarga Megawati, Hatta Rajasa, SBY dan para purnawirawan jendral bintang lima juga berkunjung menikmati kuliner salak dan wisata budaya.
Penulis: Rini Sulistyati