Penjual bisa mengirimkan produk preloved secara langsung kepada pembeli, dan uang hanya akan ditransfer ke penjual ketika pembeli melakukan konfirmasi kualitas produk yang diterima (termasuk apakah produk yang dijual bukanlah produk KW).
Biasanya, Prelo mengambil komisi sebesar 10% untuk setiap penjualan. Namun, komisi ini bisa didiskon berdasarkan aktivitas pengguna di media sosial. Bila penjualan melakukan share produk dalam Facebook , Twitter , dan Instagram , Prelo tidak akan menerima komisi.
Menurut Fransiska, satu tren unik dalam dunia e-commerce untuk barang preloved adalah bagaimana para penjual sering bercerita tentang produk dan diri mereka sendiri, agar pembeli bisa memahami produk yang dijual dengan lebih baik. Cerita-cerita ini -- yang disebut sebagai “Prelo Story” - kemudian dibagikan dalam blog dan aplikasi Prelo agar penjual dan pembeli bisa lebih mengerti satu dengan lainnya dengan lebih baik. Mereka juga bisa berkomunikasi lebih lanjut menggunakan fitur chatting di aplikasi Prelo.
Menjual barang preloved juga bagus untuk lingkungan, karena berpotensi mengurangi limbah yang dihasilkan dan biaya yang dikeluarkan untuk daur ulang.
Semenjak peluncurannya pada November 2015, startup asal Bandung ini telah memfasilitasi transaksi senilai lebih dari 1 juta dollar AS (13 miliar rupiah). Kini, Prelo memiliki puluhan ribu pengguna aktif setiap bulannya dan memiliki 200.000 produk yang tersedia dalam platform. Tim yang beranggotakan 13 orang ini telah menerima pendanaan awal dari Rebright Partners pada tahun 2015 yang tidak disebutkan jumlahnya. Di tahun ini, Tim Prelo berencana untuk menambah pengguna platform dan membuat lebih banyak “Prelo Story” yang menarik.
Tidak Sudi Untuk Berhenti
Prelo dirintis oleh Fransiska Hadiwidjana, penerima beasiswa Singularity University di Silicon Valley yang terkemuka. Sebelumnya, ia pernah memiliki pengalaman bekerja baik sebagai intern atau pekerja paruh waktu dalam beberapa proyek teknologi unggulan seperti Microsoft, Google Summer of Code,, dan badan pemerintah UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Fransiska juga memiliki beberapa paten biomedis di Amerika Serikat.
Namun, perjalanannya sebagai seorang entrepreneur tidaklah selalu mulus. Ia menemukan goncangan pada perusahaan sebelumnya yang ia bangun bernama Kleora.
Fransiska mengaku bahwa, “Dari segi ide, Prelo sama baiknya dengan Kleora. Namun perbedaan terbesar terletak pada faktor eksekusinya. Kleora dibangun dengan terburu-buru, sehingga menyebabkan banyak permasalahan teknis.”
“Sebaliknya, Prelo dibangun dengan fondasi yang solid. Sehingga, menambahkan fitur baru bukanlah hal yang sulit. Setiap produk [yang dijual dalam Prelo] dikurasi dengan cermat dan memiliki kualitas yang tinggi. Bagaimana pun juga, ideas are cheap and execution is hard,” jelasnya.
Terlepas dari tantangannya, Fransiska tidak menyerah. Ia bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan bila mengetahui dirimu tidak bisa gagal?” Bagi Fransiska, jawaban tersebut terletak pada karirnya sebagai entrepreneur. “Ketidakpastian yang begitu besar menciptakan challenge yang besar, yang membuat life worth living,” ujarnya. Sekarang Fransiska ingin menyelesaikan masalah di salah satu pasar e-commerce terbesar di dunia.