TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan, bantuan dan ekonomi Asia secara dramatis berubah akibat munculnya pemain baru yang kuat.
Bank Investasi Infrastruktur Asia atau AIIB sudah menantang donor utama lainnya meski baru didirikan Januari tahun lalu.
Ric Wasserman bertemu dengan para ahli di Sekolah Ekonomi Royal di Stockholm Swedia dan menyusun laporan soal dampak kehadiran bank Tiongkok itu bagi kawasan Asia.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Bermodal awal 1300 triliun rupiah dan sebuah agenda ambisius untuk meningkatkan infrastruktur di Asia, Bank Investasi Infrastruktur Asia atau AIIB sedang membuat perubahan.
Bank investasi internasional yang dipimpin Tiongkok ini ingin meningkatkan pembangunan ekonomi di Asia melalui pembangunan infrastruktur.
Lima puluh tiga negara dari seluruh benua sudah bergabung dalam organisasi ini. Tapi ada ketidakhadiran yang menarik perhatian. Jepang sebagai penyedia bantuan pembangunan terkemuka di kawasan Asia menolak untuk bergabung.
Profesor Marie Söderberg, Direktur Institut Eropa untuk Kajian Jepang di Sekolah Ekonomi Royal mengatakan Jepang sedang gelisah.
“Tentu saja ini jadi dilema karena sekarang mereka punya pesaing di Asia,” ujar Söderberg.
Menurutnya Jepang berupaya berubah dan lebih menekankan pada nilai tambah pada bantuan yang negara itu berikan.
Jepang mendanai bantuan ke negara-negara Asia sejak 1950-an. Mereka sekarang penyedia bantuan terbesar ke-4 di dunia, setelah Amerika Serikat, Inggris dan Jerman.
Tujuan pendekatan mereka adalah memperkuat kemitraan dengan organisasi internasional dan lembaga donor lainnya.
Jepang memprioritaskan pekerja lokal dan mengembangkan keahlian mereka. Sedangkan Tiongkok umumnya memakai pekerja sendiri dalam proyek pembangunan mereka. Söderberg mengatakan Jepang lebih banyak menggunakan perusahaan mereka sendiri.
“Tapi mereka mempekerjakan lebih banyak orang lokal untuk proyek pembangunan misalnya membangun jalan,” tambahnya.
Perbedaan ini mungkin bisa memberikan nilai lebih yang dibutuhkan Jepang karena sekarang para penerima bantuan punya pilihan lain. Populasi Asia yang berkembang pesat menyebabkan ada kebutuhan mendesak terhadap pembangunan infrastruktur.
Sementara sumber daya yang mau membiayainya sangat kurang.
Duta Besar Jepang untuk Swedia, Jun Yamazaki, mengakui potensi kuat AIIB tapi dia meragukan kebiasaan mereka.
“Yang harus dipikirkan adalah bagaimana cara AIIB, sebagai sebuah organisasi, bisa berkontribusi efektif untuk menjembatani kesenjangan permintaan dan penawaran investasi infrastruktur berkualitas di Asia,” kata Yamazaki.
Hanya 10 tahun yang lalu, Tiongkok masih menerima bantuan. Mats Karlsson adalah bekas Wakil Presiden Urusan Eksternal Bank Dunia. Dia teringat pernah penasaran mengapa negara kaya seperti Tiongkok dulu mau meminjam dan sekarang dia tahu alasannya.
Tapi dia mengaku akhirnya tahu jawabannya.
“Tiongkok menggunakan kerja sama pembangunan untuk belajar tentang teknologi dan cara membangun yang terbaik,” tutur Karlsson.
Tapi meski begitu kata Karlsson, Tiongkok tetap punya rencana untuk memastikan kalau strategi pembangunan nasional mereka tetap diperhitungkan meski sudah belajar banyak dari proyek Bank Dunia.
AIIB memang punya niat baik untuk menjadi ramping, bersih dan hijau. Tapi sama seperti Bank Dunia, AIIB merupakan perpanjangan dari kebijakan ekonomi dan ambisi geopolitik pemegang saham mayoritas. Dan ini bisa membawa konsekuensi kemanusiaan yang serius.
Bank Dunia misalnya mendukung proyek pertanian besar-besaran yang menghilangkan hak ratusan petani di wilayah Gambela Ethiopia.
Sementara pembangunan Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, yang didukung Tiongkok, memicu kekerasan karena warga keberatan dengan syarat-syarat yang diajukan Tiongkok.
Pola ekonomi dunia berubah, kata AIIB Presiden Jin Likun. Tidak ada keraguan bahwa bank ini akan memperkuat kepentingan strategis Tiongkok. Dia menyatakan 20 atau 30 tahun dari sekarang beban negara berkembang akan lebih besar dibandingkan dengan negara maju.
“Apakah ini mengkhawatirkan? Saya rasa tidak,” ujar Likun. Tapi dia mengaku mereka harus siap menghadapi perubahan kekuatan antarnegara.
Dan bukan hanya Jepang yang akan disalip Tiongkok. Amerika Serikat telah lama menjadi kekuatan dominan di kawasan Asia.
Tapi saat Presiden Amerika Trump bersumpah untuk memprioritaskan negaranya dan mengancam memutuskan aliansi bersejarah di Asia, akan ada kekosongan.
Tiongkok dan bank supernya akan siap mengisi kekosongan itu dan memperdalam pengaruh ekonomi dan regional mereka.
Penulis : Ric Wasserman/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)