TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT PLN (Persero) sebagai perusahaan milik negara yang mendapat penugasan dari pemerintah untuk membangun infratruktur ketenagalistrikan di seluruh wilayah Indonesia tentunya membutuhkan dukungan dana yang cukup besar, yakni mencapai Rp 1.000 triliun. Dana ini tak hanya berasal dari PLN tapi juga dari pihak lain.
Saat ini PLN sudah memperoleh pendanaan melalui beberapa model, seperti obligasi, pinjaman bank, penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA), pinjaman dengan export credit agency (ECA), dan listrik swasta.
Meski demikian, karena terkendala Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Perbankan dan sumber-sumber pendanaan Nasional, PLN berinovasi mencari alternatif pendanaan lainnya. Salah satu alternatif pendanaan tersebut adalah dengan mentransformasi aset finansial menjadi efek yang disekuritisasi.
“Model-model pendanaan yang sudah ada memiliki keterbatasan, sehingga PLN perlu memperluas sumber pendanaan. Salah satu alternatif model pendanaan lain adalah melakukan sekuritisasi aset atau Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA),” kata Direktur Keuangan PLN, Sarwono Sudarto saat menggelar buka bersama awak media di Hotel Darmawangsa, Jakarta (13/6/2017).
Sarwono menjelaskan sekuritisasi atau EBA yang dilakukan PLN dengan cara menkonversi pendapatan di masa depan menjadi surat berharga untuk mendapatkan cash di awal. Yang dijadikan dasar sekuritisasi adalah future cash flow dari pendapatan PT Indonesia Power, anak perusahaan PLN di bidang pembangkitan listrik.
Aset yang disekuritisasi merupakan aset keuangan, yaitu piutang penjualan listrik yang dihasilkan oleh salah satu pembangkit PT Indonesia Power, Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya. PLTU ini memiliki kapasitas 3.400 Mega Watt (MW) dan berkontribusi sekitar 12 persen pada sistem Jawa Bali.
Terlebih, PLTU Suralaya adalah PLTU terbesar di Indonesia, dan merupakan aset yang sangat bagus dan terawat. Masa manfaat PLTU Suralaya masih 20 tahun lagi dan memiliki performance operasi yang luar biasa.
Diperkirakan revenue stream PLN per tahun sekitar Rp 300 triliun. Hal ini akan menjadi jaminan/quarantee dari kontrak investasi, yang sebagiannya berasal dari prepaid dari pelanggan sebesar 12 persen.