TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masa sulit bisnis ritel dalam negeri belum pulih. Hingga kuartal I, bisnis ritel terus menurun hingga 15 persen. Padahal, pengusaha ritel semula berharap ada angin segar di awal 2017. Pasar ritel modern berharap bisa tumbuh double digit alias di atas sepuluh persen. Namun, perkiraan itu meleset lantaran masyarakat menahan duit untuk belanja.
"Masyarakat menahan pembelian. Padahal, dashboard ekonomi kita sudah baik," ujar Roy Nicolas Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo), Senin (19/6/2017).
Menurutnya, masyarakat Indonesia ditengarai sudah masuk dalam pola belanja yang berbeda. Masyarakat tidak lagi membeli barang untuk stok. Mereka berbelanja secukupnya.
Ia menjelaskan, lesunya pasar ritel terjadi sejak 2015. Saat itu inflasi membengkak hingga 7-8 persen. Sementara dolar menguat sebesar Rp 14 ribu. Padahal, pada 2013-2014, bisnis ritel tumbuh 15 persen.
Kondisi ekonomi nasional mulai membaik pada 2016. Harga minyak pun menguat. Sedangkan makro ekonomi Indonesia bergeliat, pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen. "Ada harapan baru. Namun, bisnis ritel hanya tumbuh 8-9 persen," paparnya.
Ia berharap, lebaran yang biasanya menyumbang cukup besar pada bisnis ritel bisa mengembalikan keadaan di kuartal kedua. Hal ini tentu merangsang pertumbuhan di kuartal tiga dan empat.