"Mungkin Kominfo menilai operator telko sudah melampaui jumlah yang diinginkan atau telah melampaui titik nilai tambah yang diharapkan," katanya.
Meski demikian, imbauan untuk merger dan korelasinya terhadap PHK tentu tak bisa dipukul rata. Tiap perusahaan memiliki kebijakan sendiri terkait efisiensi.
"Ya tentu itu kembali pada manajemen perusahaan. Kalau manajemen baik, ya tentu perusahaan bisa baik," pungkasnya.
Baca: Dukung UMKM dan Startup, Telkomsigma Tawarkan Free Hosting Merah Putih
Secara terpisah, pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, melihat pengurangan tenaga kerja tak bisa dihindari terutama dikaitkan dengan kapasitas perusahaan.
"Ibaratnya, kapal yang tadinya 2, sekarang tinggal 1. Harus ada sebagian yang diturunkan. Daripada kelebihan kapasitas lalu tenggelam semua," katanya.
Hadi menjabarkan saat terjadi konsolidasi berupa merger atau akuisisi, aturan ketenagakerjaan terkait PHK mesti dipahami secara berbeda dengan kondisi normal.
Sebab, biasanya ada 2 situasi yang akan dihadapi.
Baca: Polri: Kondisi Timika Mulai Kondusif
Pertama, para karyawan tidak mau ikut bekerja di bawah naungan pimpinan baru.
Dalam situasi ini, PHK bisa saja dilakukan dengan pesangon maksimal 9 bulan upah, di luar uang penghargaan kerja dan tunjangan lain.
"Kan merger ini sama dengan efisiensi, sehingga harus ada pesangon yang sesuai. Maksimal 9 bulan dikalikan 2, ditambah tunjangan lain," ujar Hadi.
Kedua, jika perusahaan yang menghendaki PHK, aturan menjadi berbeda. Prinsipnya, menurut dia, perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja, namun tetap memberi jalan keluar terbaik bagi pekerja. Seperti diketahui, di dunia internasional perkembangan teknologi erat kaitannya dengan efisiensi dan PHK.
Microsoft contohnya, perusahaan raksasa itu melakukan pemutusan hubungan kerja dengan 4% karyawan atau sekira 4 ribu orang.