TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Saat ini adalah momentum yang tepat bagi Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti untuk melakukan “moratorium” setelah hampir tiga tahun menyakiti hati nelayan melalui kebijakan-kebijakannya. “Bu Susi, jangan sakiti lagi hati nelayan. Ngono ya ngono, nanging ojo ngono,” ungkap Suhendra Hadi Kuntono, pendiri Asosiasi Pekerja Bawah Air Indonesia (APBAI), di Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Yang ia maksud “ngono yo ngono nanging ojo ngono” (begitu ya begitu, tapi jangan begitu), ialah boleh menggunakan kekuasaannya, tapi jangan melampaui batas.
“Ojo dumeh (jangan mentang-mentang berkuasa-red),” ujar Suhendra yang juga Ketua Umum Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Puja Kessuma).
Ia lalu merujuk contoh kebijakan-kebijakan Susi yang menyakiti hati nelayan, di antaranya Peraturan MKP No 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Pukat Hela dan Tarik, dan Surat Edaran MKP No 72/MEN-KP/II/2016 tentang Larangan Penggunaan Cantrang.
Cantrang adalah alat tangkap berbentuk jaring yang dinilai dapat merusak biota laut.
“Mungkin kebijakannya baik, tapi karena aplikasinya kurang baik, misalnya tidak menyiapkan penggantinya dulu, akhirnya jadi enggak baik,” jelas Suhendra.
Kementerian KP konon telah menyiapkan pengganti cantrang yakni gillnet, jaring vertikal penangkap ikan.
“Namun tidak semua nelayan mendapatkan gillnet,” tukas Ketua Kelompok Kerja Perancangan Formulasi Peraturan Daerah Nasional 2016 bentukan Kementerian Hukum dan HAM yang merupakan inisiatif Pujakessuma menyikapi moratorium dari Presiden Joko Widodo terkait ribuan perda bermasalah.
Berikutnya, kata Suhendra, adalah Peraturan MKP No 1 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan dan Ekspor Lobster, Kepiting, dan Rajungan Telur, serta program relokasi nelayan yang tidak sesuai wilayah dan tempat nelayan menangkap ikan.
“Kebijakan ini mengingkari kearifan lokal,” cetusnya.
Akibat kebijakan-kebijakan tersebut, lanjut Suhendra, kini banyak nelayan menjadi pengangguran.
“Lalu siapa yang mau memberi makan dan menyekolahkan anak-anak nelayan?” tanyanya.
Kebijakan yang seakan menjadi “trade mark” Susi, yakni penenggelaman kapal-kapal asing pencuri ikan atau illegal fishing, dinilai Suhendra juga masih menyisakan kontroversi.
Pasalnya, kapal-kapal yang ditenggelamkan itu bukan hanya kapal yang baru ditangkap, kapal yang dalam posisi melarikan diri, atau kapal yang membahayakan petugas.
“Penenggelaman kapal itu hantam kromo, sehingga merusak hubungan baik dengan negara-negara tetangga serta melanggar hukum internasional dan hubungan bilateral. Yang sesungguhnya terjadi hanya tindak pidana pencurian ikan, bukan pelanggaran kedaulatan negara sehingga kapal harus ditenggelamkan,” papar Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Indonesia-Vietnam bentukan pemerintah RI dan Vietnam ini.
“Jangan sampai itu semua dijadikan pencitraan,” lanjut Suhendra mengutip hasil survei Indo Barometer yang dirilis pada 22 Maret 2017 yang menempatkan Susi sebagai menteri paling bagus kinerjanya.
Rencana Susi menghapuskan solar bersubsidi bagi nelayan kecil juga dinilai Suhendra akan lebih memberatkan beban nelayan. “Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula,” tuturnya.
Usai menandatangani nota kesepahaman dengan PT Pertamina di Jakarta, Senin (31/7/2017), Susi mengaku akan meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan untuk menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar untuk nelayan.
Padahal, solar adalah 70% dari seluruh komponen biaya operasional dalam kegiatan produksi perikanan tangkap, khususnya nelayan tradisional skala kecil.
“Kalau alasannya salah sasaran, pengawasannya dong yang diperketat, bukan mencabut subsidi. Di negara maju sekalipun, subsidi itu hak rakyat. Ibarat mau mencabut gulma, eh tanaman padinya juga tercerabut. Ibu Susi jangan grasa-grusu (ceroboh, red), karena taruhannya adalah nasib nelayan kecil,” tandas Suhendra.