TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sakit keras, inilah gambaran paling tepat untuk Jakarta saat ini. Demikian banyak penyakit di kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa ini.
Seperti orang penyakitan, Jakarta kian sulit bergerak, bahkan bisa tumbang bila tak menemukan resep yang tepat untuk menyembuhkannya.
Sesungguhnya berbagai resep telah dicoba untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang manusiawi. Namun ibukota Indonesia ini tetap saja kusut dan semrawut, seolah hanya keajaiban yang bisa membuatnya lebih baik.
Sungguh menjengkelkan karena Jakarta adalah pusat pemerintahan, perdagangan, dan industri Indonesia sekaligus.
Demikian besar dana telah dikucurkan untuk membangun Jakarta. Bahkan Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah (APBD) Jakarta jauh lebih besar ketimbang kota-kota lainnya.
Mengingat statusnya sebagai etalase utama Indonesia, pilih kasih ini tampaknya belum akan berubah.
Pemberian prioritas sangat tinggi kepada Jakarta tampak dari APBD-nya. Bahkan dengan kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya, APBD Jakarta mencapai 9 kali lipat lebih besar.
Baca: Tak Ada Lagi Tempat Aman di Jakarta, Saatnya Mencari Kota Lain
Tahun lalu, APBD Jakarta adalah Rp 67,1 trilliun, sementara Surabaya hanya Rp 7,9 trilliun. Perbandingan penduduk Jakarta dengan Surabaya adalah 10 juta banding 2,9 juta.
Dengan demikian, suka atau tidak, Jakarta masih akan menjadi magnet raksasa bagi jutaan perantau dari berbagai daerah.
Pembangunan infrastuktur di Jakarta yang lebih massif dan cepat dibandingkan kota-kota lain akan memperkuat keyakinan para pemburu pekerjaan bahwa Jakarta adalah kota paling menjanjikan.
Mereka tak peduli bahwa Jakarta sesungguhnya sudah lama kedodoran menghadapi melesatnya jumlah penduduk.
Kenyataan ini, sebagaimana kota-kota besar lainnya, karena kapasitas Jakarta untuk mengembangkan diri terbatas.
Luas wilayah dan kondisi keuangan negara adalah batasan yang terlalu sulit ditembus.
Hal ini menyebabkan Jakarta sering mengalami kesulitan meladeni tingginya laju pertumbuhan penduduk akibat kelahiran dan serbuan perantau meski pembangunan dilakukan 24 jam sehari.
Dalam kondisi seperti ini, Jakarta jelas membutuhkan kerja sama dengan wilayah di sekitarnya.Jakarta perlu berbagi beban sekaligus keuntungan dengan para tetangganya.
Dengan kata lain, langkah kongkrit untuk membangun hubungan saling menguntungkan dengan para tetangganya wajib diayunkan secara jelas dan tegas.
Jakarta dan sekitarnya bukanlah pengecualian. Di tengah ketatnya persaingan ekonomi global, percepatan pembangunan terintegrasi bersifat antar wilayah tak terhindarkan.
Ini karena Jakarta dan sekitarnya berpotensi besar menjadi pusat perekonomian dan pemukiman strategis tak hanya bagi Indonesia tapi bahkan Asia.
Tujuan pembangunan terintegrasi semacam itu adalah untuk menghabisi inefsiensi ekonomi yang telah membuat arus barang dan orang tersendat-sendat, dan biaya produksi menjadi mahal.
Keberhasilan memerangi inefisiensi tentu saja berbuah pada kemampuan kota membangun kawasan pemukiman yang nyaman, sehat, dan aman.
Untuk semua itu pembangunan infrastruktur harus memperoleh prioritas utama. Tanpa infrastruktur memadai, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan mustahil bisa tercapai.
Sudah terbukti di berbagai belahan dunia, kualitas dan kuantitas infrastuktur menentukan tinggi redahnya investasi, yang sangat diperlukan untuk menekan angka-angka pengangguran dan kejahatan, dan meluasnya kawasan kumuh.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran di Jakarta tahun lalu mencapai 6,12 persen, sementara rata-rata nasional adalah 5,61 persen.
Bila arus perantau ke Jakarta dibelokkan ke tetangganya, tak mustahil bisa persentase pengangguran di Jakarta merosot di bawah rata-rata nasional.
Keterlibatan Swasta
Peran swasta jelas tak bisa diabaikan karena tak mungkin APBN dan APBD sanggup memenuhi semua kebutuhan pembangunan yang bersifat antarwilayah.
Bahkan lembaga keuangan dunia sekelas Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) juga ikut mendorong keterlibatan swasta dalam penyusunan dan pelaksanaan program pembangunan antarwilayah berjangka panjang.
Mereka percaya, itulah resep paling mujarap untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang sehat.
Manfaat dari semua hal diatas bagi Jakarta sebagai ibukota negara adalah bisa membebaskan diri dari banjir yang menerjang setiap musim hujan, kebakaran kampung yang berkobar berkali-kali setiap tahun, kawasan kumuh yang meluas, dan kemacetan yang sudah lama menjadikan Jakarta bagaikan kawah penyiksaan.