TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemetaan detail dan analisa terkait hidrotopografi serta tutupan lahan gambut yang akan jadi dasar pekerjaan fisik restorasi gambut yang sangat dibutuhkan.
Menurut Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan, Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna Safitri, pemetaan itu penting dilakukan agar ada data akurat, dalam membuat rencana restorasi gambut.
“Supaya kita tahu lebih jelas, jika ada di areal kubah berarti bentuk restorasinya seperti apa, kalau ada di areal yang bukan kubah itu seperti apa. Karena bentuk restorasi itu akan mengikuti pada ekosistem gambut itu,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Myrna mencontohkan, jika masuk kategori kubah gambut yang berarti masuk fungsi lindung, maka jika di situ ada kanal harus ditutup secara permanen. Namun jika bukan kubah gambut, dan masih masuk ke areal fungsi budi daya maka masih diperbolehkan memakasi sistem buka-tutup.
“Nah untuk mengetahui ekosistem gambut di lapangan itu, hasil pemetaan itu akan sangat menentukan,” katanya
Belum lama ini, BRG telah menyerahkan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang ada di empat kabupaten prioritas restorasi gambut Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Kepulauan Meranti, dan Pulang Pisau, dengan bantuan Norwegia, dan 1 KHG lagi di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, yang dibuat dengan konsorium UGM-SixCAP sedang dalam penyelesaian.
Myrna menjelaskan, “Pada empat kabupaten itu ada banyak kesatuan hidrologis gambut dan memang belum semua dipetakan, baru empat KHG yang diserahkan”.
Sebelumnya, BRG telah bekerja sama dengan beberapa universitas lokal dalam mengerjakan pemetaan skala 1:50.000. Selanjutnya, peta tersebut dipertajam dengan teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR).
Pemetaan ini mengintegrasikan sistem penentuan posisi Global Positioning System/Inertia Navigation System (GPS/INS), dan pengukuran jarak dengan laser ke obyek di permukaan bumi yang dilengkapi kamera digital.
Hasilnya, menunjukkan peta ketinggian permukaan bumi untuk mengidentifikasi kubah gambut, peta hidrotopografi (modeling arah aliran air di lahan gambut untuk membantu identifikasi lokasi sekat kanal) dan peta penutup lahan dari foto udara untuk melihat kondisi terkini gambut, yang bisa digunakan untuk panduan operasional dan implementasi fisik restorasi di lapangan.
Dengan peta skala besar 1:2.500, yang berarti tiap satu sentimeter sama dengan 25 meter di permukaan bumi, program restorasi bisa berjalan lebih efektif. Karena implementasi intervensi fisik, konstruksi pembangunan sekat kanal atau penimbunan kanal bisa dilakukan tanpa ragu-ragu.
Selama ini dalam membuat peta kesatuan hidrologis gambut, Myrna mengatakan BRG kesulitan pada penyediaan peta-peta awal yang harus dikumpulkan dan dikonsolidasikan. Selain itu, ada juga kesulitan dalam hal teknologi.
“Semakin akurat peta berarti membutuhkan teknologi yang semakin canggih dan itu membutuhkan biaya yang besar. Selain itu, ada juga kendala teknis lain, seperti cuaca yang tidak bersahabat yang bisa mengurangi akurasi hasil,” ujarnya.
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di KONTAN, dengan judul: BRG perlu peta skala besar sebagai acuan restorasi