News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

'Tren Mal Sepi Akibat Strategi Jadul'

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PEMBANGUNAN APARTEMEN GREEN PRAMUKA - Pekerja menyelesaikan pengembangan pembangunan kawasan hunian bertingkat (apartemen) The Green Pramuka tower 3-4, Jakarta, Jumat (26/4/2013). Total 17 ribu unit dari 17 tower diperkirakan akan selesai dibangun pada tahun 2018 mendatang. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengembang Apartemen Green Pramuka menilai tren menyedihkan sepinya sejumlah mal di Jakarta sebetulnya bukan karena turunnya daya beli masyarakat tetapi akibat strategi pengembang properti yang ketinggalan jaman.

“Kami sudah melihat itu sejak delapan tahun yang lalu. Saat itu, pada tahun 2010 jumlah pusat perbelanjaan (mal) yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih atau setara lahan seluas 4 juta meter persegi. Melebihi batas ideal mal dan jumlah penduduk,” ujar Marketing Director Green Pramuka City Jeffry Yamin, Selasa, (19/09/2017).

“Repotnya, kawan-kawan pengembang justru terus membangun mal padahal saat itu pemerintah DKI bahkan sampai mengeluarkan pembatasan pembangunan mal dengan mengeluarkan instruksi gubernur pada 12 Oktober 2011 namun pembangunan mal baru terus berjalan,” ujarnya.

Potensi pengembangan mal saat itu disebabkan karena kecenderungan masyarakat Jakarta yang kerap menjadikan pusat perbelanjaan (mal) sebagai obat depresi dan stres. Bahkan ada data rata-rata orang Jakarta, mayoritas perempuan, menghabiskan sekitar tiga jam setiap kali mengunjungi mal.

Dengan kondisi tersebut, pembangunan pusat perbelanjaan terus berjalan. Sampai 2013 terdapat 564 pusat perbelanjaan di Jakarta dengan jumlah terbanyak terdapat di area CBD (Central Business District).

“Sayangnya, para pengembang mengabaikan tren yang sedang terjadi pada masyarakat yang tinggal di megapolitan di negara-negara lain. Itu kalau Anda buka data, di negara Amerika Serikat sejak tahun 2010 sejumlah mal raksasa mulai sepi, beberapa malah tutup,” tuturnya.

Mengutip data Green Street Advisors, lembaga pemantau industri pusat perbelanjaan, sejak tahun 2010 sedikitnya ada 30 mal di penjuru Amerika Serikat yang terpaksa ditutup dan 60 mal yang mulai sepi pengunjung.

Menurut Jeffry saat itu di Amerika Serikat para pengembang mal ramai-ramai menuding belanja daring (online shopping) sebagai biang keladi sepinya mal. Namun tidak disadari hal itu terjadi karena jumlah mal yang terlalu banyak dan perubahan gaya hidup masyarakat kota besar.

“Masyarakat kota besar cenderung ingin praktis dan lebih gemar menyisihkan uang mereka untuk kesehatan atau menghibur diri dengan olahraga dan piknik. Itu sebabnya sejak awal dibangun Green Pramuka langsung menerapkan konsep one stop living,” paparnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini