TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Standard Chartered Plc (Stanchart) tersandung kasus aliran dana miliaran dollar AS. Perkara ini bermula dari penyelidikan internal Stanchart, yang menemukan adanya aliran dana dari Guernsey ke Singapura.
Dana jumbo senilai US$ 1,4 miliar itu disebut-sebut milik warga Indonesia. Mengapa menaruh aset di Guernsey? Benarkah kawasan ini safe haven atawa surga pajak?
Nama Guernsey, wilayah di Kepulauan Channel mendadak kembali menjadi pergunjingan hangat publik di Indonesia. Pemicunya adalah misteri transfer dana senilai US$ 1,4 miliar atau setara Rp 18,9 triliun (kurs US$ 1= Rp 13.500) yang dilakukan Standard Chartered Plc (Stanchart) dari Guernsey ke Singapura pada akhir 2015.
Seperti diberitakan www.kontan.co.id, Jumat (6/10), mengutip Bloomberg, dana tersebut milik nasabah Indonesia, beberapa di antaranya disebut-sebut punya hubungan dengan kalangan militer. Transfer itu terjadi jelang Guernsey mengadopsi Common Reporting Standard (CRS), atawa kerangka global pertukaran data pajak pada awal tahun 2016.
Diduga, transfer ini dilakukan untuk menghindari pajak. Stanchart sendiri mengaku kecolongan, setelah melakukan penyelidikan internal dan melaporkannya ke pihak regulator. Staf Stanchart diduga terlibat bermain dalam proses transfer dana tersebut. Stanchart sendiri sudah menutup operasionalnya di kepulauan itu sejak Juli 2016.
Otoritas Guernsey dan juga otoritas keuangan Inggris, yakni Financial Conduct Authority (FCA), menginvestigasi transfer dana mencurigakan ini. Penyelidikan fokus pada proses penanganan dan prosedur transfer di Stanchart.
Meski lokasinya terpencil, Guernsey menjadi buruan investor. Mengutip laman Central Intelegent Agency (CIA), Ibukota Guernsey bernama Saint Peter Port. Letaknya di Selat Inggris, Barat Laut Prancis.
Sebanyak 55% pendapatan wilayah tersebut disumbang sektor jasa keuangan. Sektor ini, termasuk konstruksi, ritel dan sektor publik lainnya juga berkembang di Guernsey. Sementara pendapatan dari sektor pariwisata, manufaktur dan hortikultura, terutama tomat dan bunga potong, tengah menurun.
Sampai dengan tahun 2015. CIA mengestimasikan pendapatan domestik bruto (PDB) Guernsey sebesar US$ 3,46 miliar atau setara Rp 46,71 triliun. Pendapatan per kapita penduduk di kawasan tersebut sebesar US$ 52.500 per tahun dengan jumlah penduduk hingga Juli 2017 tercatat sebanyak 66.502 jiwa.
Selama ini, Guernsey dikenal sebagai salah satu surga pajak (tax haven). Namun pada Oktober 2014, kawasan ini menandatangani perjanjian pajak Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan meratifikasinya pada awal tahun 2016.
Seperti diberitakan BBC pada 18 Juni 2015 silam, Guernsey masuk dalam 30 yurisdiksi di Eropa yang tidak kooperatif dalam hal informasi perpajakan. Termasuk dalam daftar 30 yurisdiksi tersebut di antaranya adalah Kepulauan Cayman, Panama, British Virgins Island, Vanuatu, Bermuda, Antigua, Bahamas, Andorra, Cook Islands, Grenada, Liberia dan beberapa kawasan lain.
Vanessa Mock, Jurubicara Komisi Perpajakan dan Bea Cukai Eropa menyatakan, daftar hitam tersebut merupakan data dari negara-negara Eropa dan diperbarui setiap tahun.
Paul Whitfield, CEO negara bagian Guernsey kala itu menyebut, daftar itu tidak akurat, karena memasukkan kawasan Guernsey dalam daftar hitam.
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di KONTAN, dengan judul: Guernsey: Pulau surga pajak & persembunyian pajak