TRIBUNNEWS, JAKARTA. Emiten penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) bersiap menerbitkan global bonds senilai Rp 2 triliun pada Juni 2018.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Helmi Imam Satriyono, mengatakan, Garuda memiliki obligasi yang akan jatuh tempo pada Juli 2018 senilai Rp2 triliun.
Alhasil, penerbitan obligasi bertujuan untuk refinancing utang.
Denominasi dollar dipilih lantaran balance sheet BUMN penerbangan ini dalam mata uang Pam Sam.
"Kami lebih condong menerbitkan obligasi dalam bentuk dollar AS, ketimbang rupiah," ujar Helmi, Rabu (25/10).
Penerbitan obligasi rupiah menjadi kurang efektif lantaran maskapai penerbangan pelat merah ini harus melakukan biaya lindung nilai alias hedging.
Baca: Jet Blast Pesawat Garuda Indonesia di Bandara Ahmad Yani Semarang Akibatkan Satu Korban Luka Berat
Penerbitan global bonds Garuda rencanannya akan menggunakan buku Desember 2017.
Berdasarkan laporan keuangan September 2017, emiten bersandi saham GIAA di Bursa Efek Indonesia ini tercatat memiliki pinjaman jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam setahun senilai US$ 65,5 juta.
Perusahaan ini juga memiliki utang obligasi yang akan jatuh tempo dalam jangka pendek senilai US$ 147,86 juta.
Adapun, pinjaman jangka panjang dan utang obligasi yang dimiliki GIAA jangka panjang masing-masing senilai US$85,37 juta dan US$494,2 juta.
"Jadi, selain penerbitan global bonds, Garuda juga tengah mengkaji alternatif lain yakni melakukan pinjaman bank secara bilateral," ujarnya.
Hingga September 2017, total pendapatan GIAA mencapai US$3,11 miliar, naik 8,7% dari posisi US$ 2,86 miliar di periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, peningkatan beban usaha yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan usaha membuat GIAA masih harus menanggung kerugiah.
Tercatat, beban usaha GIAA sepanjang sembilan bulan 2017 mencapai US$3,23 miliar, naik hingga 12,93% dari posisi US$2,86 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Alhasil, nilai kerugian GIAA senilai US$ 207,48 juta, atau melonjak hingga lima kali lipat dari posisi US$44 juta dari posisi September 2016.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala Nugraha Mansury mengungkapkan, sepanjang tahun berjalan ini, Garuda memang masih membukukan kerugian. Namun, Pahala mengklaim tren perbaikan mulai terlihat. Mantan Direktur Keuangan Bank Mandiri menuturkan, pada kuartal III/2017, GIAA sudah mencetak laba. Adapun laba yang dibukukan hanya pada Q3/2017 senilai US$ 61,9 juta.
Raihan laba tertopang arus mudik saat Lebaran. Makanya, strategi penurunan cost dan efisiensi akan menjadi andalan bagi Garuda untuk meningkatkan performa. Selain itu, kata Pahala, Garuda juga berencana untuk mengoptimalisasi berbagai rute yang dimiliki untuk mendongkrak raihan laba serta meningkatkan utilisasi pesawat.
Saat ini, utilisasi pesawat Garuda Indonesia mencapai 9 jam 34 menit. Kondisi meningkat dibandingkan dengan September 2016. Adapun utilisasi pesawat pada September 2016 mencapai 8 jam 56 menit.
Adapun catatan penumpang Grup Garuda Indonesia (Citilink dan Garuda) mencatatkan pertumbuhan sebesar 1,4% menjadi 9,6 juta penumpang, dari sebelumnya 9,5 juta di periode yang sama.
Secara year to date, Grup Garuda Indonesia berhasil mengangkut sebanyak 26,8 juta penumpang sepanjang sembilan bulan 2017, atau tumbuh 3% dibanding periode yang sama tahun lalu yaitu sebanyak 26 juta penumpang.
Hingga akhir tahun, GIAA memproyeksikan raihan pendapatan senilai US$3,2 miliar. Untuk mengejar target pendapatan tersebut, sambungnya, GIAA akan memaksimalkan transaksi menggunakan mobile apps Garuda Indonesia atau platform e-commerce. (Kontan/Tantyo Prasetya, Titis Nurdiana )