TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Empat girder jatuh hampir bersamaan saat dilakukan pembangunan Jalan Tol Pasuruan Probolinggo di Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Menurut penjelasan PT Waskita Karya, pengelola proyek, pemasangan girder di Kecamatan Grati memiliki panjang 50,80 meter dalam proses erection menggunakan 2 buah mesin crane berkekuatan 250 ton dan 150 ton. Pemasangan sudah dimulai sejak hari Sabtu dan menyelesaikan 3 girder.
Pada ke tiga girder yang sudah dilakukan erection dilakukan pemasangan bracing. Pemasangan girder ke-4 dilanjutkan hari Minggu ini.
Saat girder ke-4 tersebut sedang diatur untuk ditempatkan pada dudukannya, ia mengenai girder yang telah terpasang dan menyebabkan tali crane putus dan girder ketiga menyentuh girder lain yang sudah terpasang dan berakibat keempat girder jatuh secara bersamaan.
Insiden ini mengakibatkan korban jiwa 1 orang meninggal dan 2 orang dirawat di rumah sakit.
Apakah ini kegagalan konstruksi dan kesalahan metode kerja? Belum bisa disimpulkan ke sana.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) menurunkan tim untuk mengevaluasi desain dan metode kerja pasca jatuhnya 4 girder dengan berat total ratusan ton tersebut.
Lalu bagaimana dengan insiden ini? Apakah polisi bisa memperkarakan?
Indonesia saat ini memiliki Undang-undang (UU) Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2016 yang resmi menggantikan Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999.
Dalam UU yang baru diberlakukan pada 12 Januari 2017 ini, terdapat pasal yang memberikan perlindungan bagi pengguna dan penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi.
Baca: Kronologi Jatuhnya 4 Girder di Proyek Jalan Tol Pasuruan-Probolinggo
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Yusid Toyib dikutip Kompas.com, 9 Maret 2017 mengatakan, kegagalan konstruksi tidak dapat lagi dipersoalkan pada saat prosesnya, kecuali saat bangunan sudah selesai dan ditemukan adanya kegagalan.
"Kalau ada kegagalan konstruksi, polisi dan jaksa tidak masuk kecuali dalam pelaksanaan konstruksi ada pidana, ada orang meninggal, operasi tangkap tangan, itu lain," ujar Yusid di acara Sosialisasi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Kamis (9/3/2017).
Yusid menjelaskan, dalam dunia konstruksi ada kontrak yang mengikat antara kedua belah pihak, yakni pengguna dan penyedia jasa.
Jika saat proses konstruksi ditemukan ketidaksesuaian dengan apa yang ada di dalam kontrak, maka penyelesaiannya tidak di pengadilan.
"Paling tinggi di arbitrase. Tapi, sebelum itu, kita lakukan mediasi, konsiliasi. Sebelum itu juga dibuat dewan sengketa untuk mengakurkan kedua belah pihak," sebut Yusid.
Dewan sengketa dibentuk oleh kedua belah pihak, berdasarkan kesepakatan sejak pengikatan jasa konstruksi. Sementara itu, lanjut Yusid, jika terjadi kegagalan bangunan saat proses konstruksi selesai, polisi juga tidak serta-merta masuk dalam masalah tersebut.
Nantinya, dari Kementerian PUPR bisa membentuk dewan penilai, untuk menilai siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan tersebut, apakah pengguna jasa, penyedia jasa, atau ada faktor alam.
"Polisi nanti tinggal menerima hasil dari dewan penilai untuk menindaklanjuti masalah," kata Yusid.
Dewan penilai dibentuk dari para ahli. Sebagai contoh, tutur Yusid, ada bendungan yang jebol, nanti akan dicari ahli air. Jika bangunan bertingkat gagal, dewan penilai dibentuk dari ahli-ahli bangunan. Tujuannya untuk mempertahankan independensi.
Penulis: Arimbi Ramadhiani