TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang menilai, pola transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit merupakan program pemerintah yang sukses di tahun 1980-an.
Kedua program ini mampu membuka keterisoliran daerah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk sehingga berdampak pada pemekaran wilayah.
“Kalau dilihat historisnya, 4 dari 5 pemekaran di tingkat kabupaten di Indonesia merupakan wilayah transmigrasi yang penduduknya yang menggantungkan hidup dari perkebunan kelapa sawit,” kata Togar pada peluncuran dan diskusi buku bertema “Privatisasi transmigrasi dan kemitraan plasma menopang industri sawit” diadakan The Institute for Ecosoc Rights bekerja sama dengan Norwegian Center for Human Rights di Jakarta, Kamis (11/1/2018).
Hanya saja, kata Togar, karena berbagai keterbatasan program transmigrasi serta perkebunan kelapa sawit hanya mengikuti kondisi saat itu sehingga ada regulasi tertinggal dengan kondisi lapangan. Akibatnya, sejumlah pihak menilai terjadi diskriminasi.
Togar mencontohkan, di tahun 1980-an, saat pengembangan awal, perusahaan sawit selalu harus mampu menyeimbangkan antara luasan areal, kemampuan produksi TBS serta kapasitas pabrik.
Perusahaan sawit berinvestasi berdasarkan kemampuan mereka. Jika memiliki 5.000 ha lahan maka pasokan yang dibutuhkan adalah 30 ton TBS per jam.
Saat itu, perusahaan hanya menggantungkan pasokan dari petani plasma karena keterbatasan kapasitas pengolahan pabrik serta petani mandiri belum berkembang.
Menurut Togar, kalaupun, akhirnya perusahaan sawit menerima pasokan petani mandiri harganya pasti berbeda. Hal itu karena harga plasma dihitung berdasarkan harga rata-rata 2-3 bulan lalu. Sementara itu, harga mandiri dihitung berdasarkan harga saat ini.
“Jadi sampai kapan pun perdekatan terkait harga tidak pernah berakhir. Apalagi sawit merupakan komoditas yang harganya sangat dipengaruhi faktor global.”
Togar mengingatkan, semua pihak tidak hanya menggantungkan pembenaran atas pendapatnya hanya pada satu buku atau riset tertentu saja. “Perlu banyak riset dan referensi untuk memperkaya pemahaman mengenai sawit,” kata dia.
Terpisah, Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) Darmono Taniwiryono mengingatkan banyak pihak yang tidak mengenal produk sawit tetapi berbicara negatif tentang sawit. Akibatnya, opini negatif komoditas itu telah merasuk di pemikiran generasi muda Indonesia sejak dari rumah hingga pendidikan.
Menurut dia, sudah waktunya pemerintah dan masyarakat mendorong peningkatan promosi positif terhadap minyak sawit. Apalagi, sumbangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) terhadap devisa negara mencapai rata-rata lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahun.
Darmono mengungkapkan, sudah waktunya semua pihak melakukan riset-riset ilmiah agar tidak terlalu cepat mendiskreditkan produksi minyak kelapa sawit sebagai produk yang tidak ramah lingkungan.