Laporan Reporter Kontan, Abdul Basith
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan impor garam yang disepakati Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian melalui rapat koordinasi terbatas (Rakortas) sebesar 3,7 juta ton dianggap menekan petani.
Hal tersebut dikarenakan pemerintah dianggap tidak memperhatikan hasil panen petani. Garam industri yang diimpor dinilai sebagian masih dapat menggunakan garam petani lokal.
"Kebutuhan garam selain yang masuk mulut dianggap industri dan menggunakan garam impor, padahal sebagian industri itu bisa menggunakan garam lokal," ujar Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), Jakfar Sodikin kepada KONTAN, Senin (22/1/2018).
Dari total kebutuhan industri 3,77 juta ton, Jakfar bilang 1,24 juta ton bisa menggunakan garam rakyat. Selain itu produksi garam dalam negeri pun dinilai dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Industri yang dinilai dapat menggunakan garam lokal antara lain adalah industri aneka pangan, pengasinan ikan, penyamakan kulit, pakan ternak, pengeboran minyak, sabun dan detergen, serta industri lain yang jumlahnya kecil.
Jakfar memproyeksikan produksi garam tahun 2018 mencapai 2 juta ton. Angka tersebut dapat menutupi kebutuhan industri mengingat kebutuhan konsumsi hanya 700.000 ton.
Baca: Rapat dengan KKP, Komisi IV DPR Tegas Tolak Impor Garam Industri, Menteri Susi Ngeloyor Pergi
Baca: Driver Grab Diminta Pasang Stiker Angkutan Sewa Khusus
"Kebutuhan industri yang bisa menggunakan garam lokal dan konsumsi total 1.975.000 ton sangat bisa dipenuhi garam lokal," terangnya.
Garam yang diimpor pun beberapa dinilai memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dengan garam lokal. Jakfar bilang industri pengasinan ikan diberi izin impor dari India yang spesifikasinya tidak jauh berbeda dari garam lokal.
Selain itu Jakfar bilang kuota impor sebesar 3,7 juta ton dianggap naik tinggi dibandingkan sebelumnya. Tahun sebelumnya berdasarkan data Jakfar, impor garam industri sebesar 2,31 juta ton.