TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior, Rizal Ramli mengkritik kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah saat ini.
Apalagi impor dilakukan padahal panen raya padi telah dilakukan petani di sejumlah wilayah lumbung beras.
"Kebijakan impor ini membuat petani makin sengsara," kata Menteri Koodirnator bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu ketika dikonfirmasi, Jumat (21/2/2018).
Menurut Rizal Ramli, Bulog harusnya menyerap gabah petani atau membeli dengan harga pembelian pemerintah (HPP).
"Untuk apa impor kalau beras di dalam negeri banyak," ujar Rizal Ramli.
Menurut mantan Kepala Bulog ini, ada beberapa hal yang tidak beres di balik kebijakan impor beras tersebut.
Beberapa diantaranya data yang dimiliki oleh pemerintah soal distribusi beras tidak dikelola dengan baik, adanya komisi besar bagi pejabat yang melakukan impor dan buruknya Bulog mengatur stok dan distrubusi beras.
"Atau apa ini sengaja merusak kehidupan petani?" ujar mantan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Sumber Daya itu.
Petani Gigit Jari
Memasuki masa panen, petani di Jember terpaksa harus gigit jari. Pasalnya, harga gabah saat ini tidak sesuai harapan.
Disebutkan, harga jual gabah sekarang ini turun dari Rp 5 ribu menjadi Rp 3.800.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jember, Jumantoro membenarkan kondisi tersebut.
Dikatakannya, penurunan harga gabah dipengaruhi musim hujan. Pembeli harus bekerja ekstra untuk menjemur padi.
Masuknya beras impor dari Vietnam, dikatakan Jumantoro juga memberi pengaruh pada penurunan harga gabah.
“Jika dijual berasnya, khawatir harga beras ikut turun. Padahal, sekarang harganya masih tinggi. Saya kemarin beli beras yang biasa isi lima kilogram harganya Rp 60 ribu,” jelasnya.
Dia menambahkan, kenaikan beras tidak mengubah harga gabah. Pembelian gabah masih menggunakan inpres 2015, yakni harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 3.700.
“Padahal, kondisinya sekarang sudah berubah, inpres itu sudah tidak relevan,” tuturnya. Untuk itu, HKTI meminta agar pemerintah meninjau kembali HPP.