TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cendekiawan muslim Prof Dr Komaruddin Hidyat menilai wajar jika ada investor asing yang khawatir untuk berinvestasi di Indonesia akibat adanya paham radikalisme dan ekstremisme yang dapat mengguncang stabilitas politik dan keamanan.
Namun, katanya, kekhawatiran itu tak perlu berlebihan, karena langkah pemerintah sudah on the right track (di jalur yang benar), antara lain dengan membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) berpaham radikal, membatalkan ratusan peraturan daerah (perda) yang tak pro-investasi, dan membangun komunikasi secara intensif dengan ormas-ormas Islam moderat.
“Kekhawatiran itu wajar karena mereka hendak menanamkan modal yang tidak kecil, ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Tapi tak boleh berlebihan, karena langkah pemerintah sudah on the right track,” ungkap Komaruddin Hidayat yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta, saat dihubungi, Selasa (20/3/2018).
Selama ini, kata Komaruddin, investor asing lebih tertarik berinvestasi ke Malaysia atau Vietnam yang iklim investasinya lebih kondusif di satu sisi, dan di sisi lain stabilitas politik dan keamanannya relatif stabil.
“Bayangan mereka, kalau sampai di Indonesia berdiri negara khilafah, maka segala aturan akan dirombak, dan itu ancaman bagi investor,” ujarnya.
Sebab itu, jelas Komaruddin, langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo meredam gerakan-gerakan radikal dan ekstrem, serta membubarkan ormas yang mengusung paham negara khilafah dan anti-Pancasila, sudah tepat.
“Pemerintah juga menghapus ratusan perda yang tak pro-investasi. Ini harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret supaya tenaga kerja dan biaya produksi di Indonesia lebih kompetitif, sehingga menarik minat investor,” jelasnya.
Dihubungi terpisah, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Prof Dr Nasaruddin Umar berpendapat, tak ada alasan bagi investor, baik domestik maupun asing, untuk mengkhawatirkan stabilitas politik dan keamanan di Indonesia terkait paham radikal. ”Penganut paham radikal jumlahnya sangat kecil,” ungkapnya, Selasa (20/3/2018).
“Paham khilafah juga tidak laku dan tidak akan laku di Indonesa, meskipun beberapa gelintir itu ada. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu kompak, dan mendukung negara kebangsaan yang berdasarkan Pancasila. Namun, pemerintah juga tak boleh lengah. Sekecil apa pun gerakan dan paham radikal yang tumbuh, harus diantisipasi, jangan sampai membesar,” lanjut Nasaruddin yang juga mantan Wakil Menteri Agama.
Tidak itu saja, baik Komaruddin maupun Nasaruddin menilai pemerintah juga kian intensif membangun dialog dengan ormas-ormas Islam mainstream yang berpaham moderat serta pro-Pancasila, kebinekaan, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, demi meng-counter ormas-ormas berpaham radikal.
“Selama NU dan Muhammadiyah berada di garda terdepan dalam menjaga NKRI, dan menebarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam, red), bahu-membahu bersama aparatur negara seperti TNI dan Polri, insya Allah negara ini akan aman,” kata Nasaruddin.
Pada 10 Juli 2017, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2017, sebagai pengganti UU No 17 Tahun 2013, tentang Ormas.
DPR RI kemudian mengesahkan Perppu Ormas tersebut menjadi UU pada 24 Oktober 2017. Dengan Perppu Ormas inilah pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dinilai bertentangan dengan Pancasila karena mengusung paham negara khilafah. Eks-HTI pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Namun, Komaruddin dan Nasaruddin berpendapat, langkah pemerintah tersebut belum cukup. “Pemerintah harus mengatasi akar permasalahannya, yakni dengan memberantas kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi dan hukum. Dengan demikian, paham radikal dan ekstrem akan hilang dari bumi Indonesia. Investor pun akan dibuat lebih tenang dan nyaman,” tandas Komaruddin.