News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Efektivitas Utang Luar Negeri Sektor Publik Dipertanyakan

Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Februari 2018 berada di posisi 356,23 miliar dolar AS atau naik setara 9,5 persen dibanding posisi yang sama pada tahun sebelumnya di posisi 325,42 miliar dolar AS.

Jika dikalkulasi, berdasarkan data asusmsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 13.400, maka posisi utang luar negeri Indonesia berada di kisaran Rp 4,773 triliun.

“utang luar negeri Indonesia pada akhir Februari 2018 tercatat sebesar 356,2 miliar dolar AS yang terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 181,4 miliar dolar AS, serta utang swasta sebesar 174,8 miliar dolar AS,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman dalam laporan statistik utang luar negeri yang dipublikasi Bank Indonesia, Selasa (17/4/2018).

Agusman menambahkan, pengelolaan utang luar negeri pemerintah sejalan dengan kebijakan fiskal untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kegiatan produktif dan investasi.

Tercatat, hingga akhir Februari 2018, utang luar negeri pemerintah tercatat sebesar 177,9 miliar dolar AS yang terdiri dari SBN (SUN dan SBSN/Sukuk Negara) yang dimiliki oleh non-residen sebesar 121,5 miliar dolar AS dan pinjaman kreditur asing sebesar 56,3 miliar dolar AS.

Sementara itu, utang luar negeri swasta tercatat mengalami perlambatan karena dipengaruhi sektor keuangan. Secara tahunan, pertumbuhan utang luar negeri sektor keuangan tercatat 5,1 persen pada Februari 2018, melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 6,7 persen.

Efektivitas utang luar negeri di sektor publik

Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, kendati perkembangan utang luar negeri secara keseluruhan tumbuh melambat dibanding bulan sebelumnya, namun kenaikan utang luar negeri di sektor publik dalam tahap yang mengkhawatirkan.

Bhima menilai, ketika utang luar negeri swasta hanya tumbuh 9,4 persen secara tahunan, utang luar negeri sektor publik yang terdiri dari pemerintah dan bank sentral tercatat naik hampir 12 persen.

Selain itu, kata Bhima, jika dibandingkan indikator sektor riil seperti pelemahan konsumsi masyarakat, defisit perdagangan dalam periode Januari hingga Februari dan proyeksi pertumbuhan PDB di triwulan I 2018 yang hanya berada di 5 persen maka kenaikan utang luar negeri sektor publik menjadi dipertanyakan efektivitasnya.

“Utang harusnya berkorelasi dengan naiknya output ekonomi, kenapa utang pemerintah naik signifikan tapi output ke ekonominya tidak sejalan? Sebaiknya pemerintah harus lebih hati-hati lagi dalam mengelola utang,” kata Bhima kepada Tribunnews.com, Selasa (17/4/2018) di Jakarta.

Lebih lanjut dia menjelaskan, di tengah pelemahan kurs rupiah beban pembayaran utang Pemerintah akan semakin berat ke depannya, sebab di tahun 2018 total jatuh tempo utang pemerintah yang berbentuk valas mencapai Rp 112,9 triliun.

Sementara itu, kata Bhima, untuk utang luar negeri swasta, kendati mengalami perlambatan tetap perlu dicermati resiko gagal bayar karena belum seluruh utang luar negeri swasta melakukan lindung nilai atau hedging.

“Kondisi ekonomi sedang dalam ketidakpastian terlebih ada perang dagang, perang di Suriah. Swasta harus memperhatikan kemampuan bayarnya terutama utang luar negeri jangka pendek dengan jatuh tempo di bawah 1 tahun,” tutur dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini