TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengimbau agar masalah yang sedang terjadi di internal Garuda Indonesia tidak berdampak pada pelayanan terhadap konsumen.
Masalah yang dimaksud adalah ancaman mogok dari pilot serta karyawan yang diiringi dengan tuntutan untuk mengganti direksi dengan orang yang lebih paham tentang dunia penerbangan.
"Kalau sampai mogok (kerja), berarti pilot akan berhadapan dengan konsumen. YLKI tidak endorse untuk mogok pilot," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Sabtu (5/5/2018).
Menurut Tulus, tuntutan para pilot dan karyawan di Garuda Indonesia pada dasarnya merupakan hak mereka sebagai pekerja di sana. Namun, dia mendorong agar dalam menuntut hak mereka tidak sampai melanggar hak pihak lain, dalam hal ini hak konsumen.
Baca: Gunakan Obeng Gali Sumur 15 Meter, Aras Klaim Hanya Butuh 6 Jam
Lebih jauh lagi, mogok kerja para pilot dinilai Tulus sebagai hal yang jauh dari substansi profesi tersebut. Dia mendorong agar para pilot dan karyawan Garuda Indonesia bisa mengambil langkah selain mogok kerja yang dampaknya akan meluas ke berbagai hal.
"Mogok kerja bisa menjadi inkonsistensi dalam profesi pilot," tutur Tulus.
Baca: Gunakan Obeng Gali Sumur 15 Meter, Aras Klaim Hanya Butuh 6 Jam
Sebelumnya, Presiden Asosiasi Pilot Garuda Indonesia (APG) Captain Bintang Hardiono memastikan mereka tetap akan mogok jika hingga awal Juni 2018 tidak ada perombakan direksi. Hal yang jadi dasar kekecewaan mereka adalah berbagai kebijakan yang dikeluarkan pihak perusahaan dianggap tidak sesuai dengan industri penerbangan, di mana regulasi dikeluarkan oleh dewan direksi yang umumnya berasal dari dunia perbankan.
Masalah yang dimaksud bermula sejak tahun lalu, di mana dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) April 2017 posisi Direktur Operasi dan Direktur Teknik ditiadakan. Hal itu menimbulkan kendala untuk mereka yang ada pada tataran operasional karena ada audit untuk Airport Operating Certificate (AOC) yang penanggung jawabnya adalah kedua direktur itu.
AOC penting karena tanpa itu, pesawat-pesawat di Garuda Indonesia tidak bisa beroperasi sama sekali. Izin AOC diperpanjang setiap tahun, dengan menyertakan hasil audit oleh auditor independen sebagai laporan operasional sebuah maskapai.
Belakangan, posisi kedua direktur tersebut diadakan kembali namun bukan dari mekanisme RUPS, melainkan penunjukan langsung oleh Direktur Utama.
Selain itu, ada kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan model kerja di dunia penerbangan, seperti meniadakan kendaraan jemputan bagi pilot dan kru kabin, pemotongan jam terbang pilot, hingga meniadakan kenaikan gaji berkala tiap tahun yang alasan perusahaan sebagai bagian dari efisiensi.