Laporan Reporter Kontan, Azis Husaini, Febrina Ratna Iskana dan Pratama Guitarra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina harus pintar-pintar mengatur arus kas. Sampai tahun 2019, kedua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini tak boleh menaikkan tarif listrik dan harga bahan bakar minyak (BBM).
Selama ini, penentuan tarif listrik dan BBM harus memperhatikan kurs, inflasi, dan Indonesian Crude Price (ICP). Masalahnya, tren ICP dan kurs terus naik. Rabu (23/5), harga minyak WTI menyentuh US$ 71,96 per barel dan kurs Rp 14.203 per dollar AS.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka mengatakan, dengan kondisi itu seharusnya tarif listrik naik. "Tapi ada komitmen pemerintah kepada rakyat harus dijaga agar tidak naik," kata dia kepada KONTAN, Selasa (22/5/2018).
Akibatnya, keuangan perseroan ini bisa terganggu setidaknya pada semester I-2018. "Iya, berpengaruhlah," ungkap Made singkat.
Baca: Kisah Yuni, Gadis Kampung Nyalindung Bogor, 21 Tahun Menderita Lumpuh dan Gizi Buruk
Bagi PLN, masalah bertambah berat karena belum semua produsen menyetor batubara untuk keperluan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sebesar 25% untuk memenuhi ke butuhan PLN.
Namun Pemerintah dan PLN sudah berkomitmen mengusahakan tarif listrik per kWh dapat ditekan.
Dus, kini PLN akan melakukan efisiensi untuk memperkecil biaya. "Kami akan mengusahakan tarif per kwh harus turun," kata Made.
Keinginan Pertamina menaikkan harga bahan bakar juga ditepis pemerintah, meski keuangan Pertamina bisa berdarah.
Baca: Nestapa Keluarga Ini, Diusir Pemilik Kontrakan, Oleh Sopir Angkot Dikira Keluarga Teroris
Pemerintah menyatakan, harga Premium tidak boleh naik sampai 2019. Sedangkan kenaikan harga Pertalite dan Pertamax series harus izin Menteri ESDM.
Periode Januari-Februari 2018, Pertamina mengakui potensi kerugian Rp 3,9 triliun akibat menanggung selisih harga solar subsidi, Premium di Jawa Madura Bali, serta Premium penugasan Luar Jawa Madura dan Bali. Hingga akhir tahun, Pertamina diproyeksikan rugi Rp 24 triliun.
Pengamat Ketenagalistrikan Fabby Tumiwa menyarankan Menteri ESDM memberlakukan skema tarif adjustment untuk mengakomodasi nilai tukar dan harga BBM. Jadi beban subsidi dapat dikurangi.
"Menteri ESDM menghentikan tarif adjustment sejak 2017 lalu, dan gagal mengantisipasi kenaikan biaya produksi," ungkapnya, Rabu (23/5/2018).
Dirjen Ketenagalistrikan Andy Noorsaman Someng bilang menegaskan, meski rupiah melemah dan harga minyak naik, tarif listrik tak naik. "Belum berubah," tegasnya.