TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usulan insentif pajak Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk investor yang mengembangkan mobil listrik sangat dinantikan industri otomotif nasional.
Pasalnya, insentif tersebut bisa memangkas selisih harga mobil konvensional dengan mobil listrik menjadi hanya 30 persen saja.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berharap, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bisa menerbitkan payung hukum insentif fiskal untuk mobil listrik pada tahun ini.
Beberapa usulan insentif pajak yang disodorkan Kemenperin untuk menggiatkan pengembangan mobil listrik di dalam negeri adalah tax holiday untuk investor yang akan memproduksi baterai mobil listrik, investor yang melakukan vokasi pembuatan mobil listrik, investor yang melakukan kegiatan riset dan pengembangan mobil listrik, serta menghapuskan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil listrik.
"Tax holiday disiapkan untuk investor baterai maupun mesin listrik. Kemudian superdeductable tax sampai 200 persen untuk yang melakukan vokasi, dan untuk yang gencar melakukan research and development sampai 300 persen, serta PPnBM. Kita masih terus bahas dengan Kemenkeu," kata Airlangga, saat meluncurkan kegiatan Riset Komprehensif Electrified Vehicle dengan Melibatkan Perguruan Tinggi di kantornya, Rabu (4/7/2018).
Airlangga berharap, Kemenkeu bisa sepenuhnya mempermudah pabrikan otomotif dalam mengembangkan sampai memproduksi mobil bertenaga listrik di dalam negeri. Sebab, fasilitas itu akan mendukung peta jalan Making Indonesia 4.0 Kemenperin yang menjadikan otomotif sebagai salah satu industri prioritas program tersebut.
"Target Kemenperin pada 2025 nanti, dari 2 juta unit mobil yang diproduksi di Indonesia, sekitar 20 persen atau 400 ribu unitnya merupakan mobil listrik," kata Airlangga.
Pangkas Selisih Harga
Mewakili Toyota Indonesia, Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Warih Andang Tjahjono mengaku sangat menantikan insentif bagi produsen mobil listrik dari pemerintah. Pasalnya, saat ini selisih harga mobil listrik dengan mobil konvensional yang dipasarkan di Indonesia sangat tinggi.
"Kendala pemasaran mobil listrik di Indonesia adalah soal harga. Masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Sehingga dengan insentif fiskal tersebut kami memperkirakan selisih harga antara mobil konvensional dengan mobil listrik bisa dikurangi menjadi hanya 30 persen saja," kata Warih.
Toyota Indonesia menurut Warih sangat antusias untuk bisa menjual mobil listrik di Indonesia, mengingat negara ini memiliki daya serap yang tinggi untuk produk otomotif.
"Sudah menjadi komitmen Toyota Indonesia untuk memperkenalkan seluruh line up mobilnya di Indonesia, termasuk mobil listrik. Salah satu kendalanya adalah soal harga dan supply chain. Hal ini harus diatasi, sehingga masyarakat bisa menyukai mobil listrik," jelasnya.
Untuk mempercepat produksi mobil listrik secara komersial di Indonesia, Kemenperin mendukung kegiatan riset dan studi bersama yang dilakukan Toyota Indonesia dengan enam universitas nasional yaitu UI, ITB, UGM, UNS, ITS, dan Udayana selama tiga bulan ke depan.
Toyota Indonesia menyediakan 18 unit kendaraan terdiri dari 6 unit Toyota Prius, 6 unit Toyota Prius Plug-in Hybrid, dan 6 unit Corolla Altis untuk dipelajari oleh akademisi dari enam universitas tersebut sehingga bisa disesuaikan dengan kondisi pasar di Indonesia. Beberapa aspek teknikal yang dipelajari antara lain jarak tempuh, emisi, infrastruktur, kenyamanan pelanggan dan lainnya.
"Data yang terkumpul akan dianalisis dan disimpulkan untuk menjadi referensi bagi Kemenperin dalam menyusun peta jalan industri otomotif di Indonesia," pungkas Airlangga.