TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ratusan pekerja korban pemecatan massal oleh manajemen Jakarta International Container Terminal (JICT) menggeruduk kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasj Jakarta Utara.
Para pekerja outsourcing JICT yang tergabung dalam Serikat Pekerja Container (SPC) ini diputus kontraknya dengan dalih pergantian vendor.
Mereka meminta kepada pemerintah dan stakeholders pelabuhan untuk membantu meninjau ulang PHK tersebut untuk mewujudkan keadilan bagi para pekerja yang telah mengabdi bertahun-tahun.
Terdapat 2 (dua) permasalahan utama kasus pemecatan massal pekerja outsourcing JICT, yakni praktik vendorisasi dan PHK yang seperti tidak taat aturan.
PHK massal yang dilakukan oleh manajemen JICT terhadap ratusan operator alat RTGC terindikasi tidak sesuai Permenakertrans 19/2012.
"Di dalam aturan tersebut disebutkan, dalam hal pergantian vendor, maka pekerja eksisting diutamakan tetap bekerja," kata Emil Salim, Sekretaris Jendral Serikat Pekerja Container (SPC) dalam keterangan pers, Senin (9/7/2018).
Namun faktanya, ratusan pekerja yang terampil tersebut malah di-PHK dan digantikan para operator baru yang minim pengalaman dan kemampuan. Sehingga berdampak terhadap menurunnya produktivitias JICT.
Terkait praktik vendorisasi operator alat RTGC untuk kegiatan bongkar muat di lapangan penumpukan JICT, menurut UU 13/2013 dan Permenaker 19/2012, seharusnya aktivitas tersebut masuk menjadi kegiatan inti perusahaan.
Karena kegiatan bongkar muat petikemas di lapangan penumpukan JICT bukan kegiatan musiman dan berlangsung secara terus-menerus.
Patut disesali sekaligus menjadi pertanyaan kenapa bisa asosiasi pengusaha petikemas (APTPI) menetapkan alur produksi yang bertentangan dengan fakta lapangan.
Sesuai kesepakatan di kantor Sudinaker Provinsi DKI Jakarta tanggal 5 Juli 2018, SudinakerTrans Jakarta Utara bersama Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok akan mengadakan peninjauan bersama terkait permasalahan PHK massal JICT, paling lambat minggu kedua Juli 2018.