TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Ekonom Senior Mari Elka Pangestu menilai, globalisasi memilki dampak yang besar bagi berbagai sektor seperti ekonomi, politik hingga keamanan.
Hal tersebut mengemuka dalam acara peluncuran buku Indonesia and the New World: globalization, nationalism and sovereignty, di Jakarta, kemarin.
Mantan Menteri Perdagangan di era SBY itu menganalogikan, globalisasi seperti pisau bermata dua untuk ekonomi Indonesia.
Menurutnya, globalisasi dapat meningkatkan akses untuk memperbaiki taraf hidup dan juga meningkatkan kepekaan.
“Di satu pihak, globalisasi memberi manfaat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, kenaikan pendapatan per kapita dan penurunan kemiskinan,” kata Mari, Selasa (10/7/2018).
Globalisasi tak terbendung dan bahkan menjadi semacam kebutuhan pokok sehari-hari, antara lain ketika manusia di pelbagai pelosok dunia terhubung secara instan lewat media sosial.
Namun di lain pihak, globalisasi juga telah meningkatkan kepekaan suatu negara kepada berbagai guncangan dan dampak negatif globalisasi.
Baca: Adhi Karya Targetkan Pembangunan LRT Jabodebek Capai 70 Persen Hingga Akhir Tahun
“Akibatnya sentimen anti-globalisasi meningkat, pemicunya antara lain pengalaman pahit akibat krisis keuangan dunia serta ketimpangan ekonomi yang semakin lebar di depan mata karena keuntungan dari globalisasi tidak merata,” imbuhnya.
Mari melanjutkan, kompleksitas globalisasi memunculkan pilihan-pilihan politik yang mengejutkan, seperti terpilihnya Presiden Duterte di Filipina, Trump di Amerika Serikat, dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Manifestasi dari pilihan pilihan tersebut berujung pada kebijakan-kebijakan yang umumnya cenderung lebih bersifat populis dan isolasionis sebagai upaya melindungi diri dari dampak globalisasi dan atas nama kedaulatan.
Perang Dagang
Dalam beberapa hal, fenomena ini juga terasa di Indonesia. Berbagai kebijakan serta diskursus publik diwarnai oleh semangat anti-globalisme.
“Dalam hal ekonomi, proteksionisme dan nasionalisme kembali meningkat dan penolakan atas ‘pengaruh asing’ dimanifestasikan ke dalam kebijakan seperti pelarangan impor atas nama swasembada, dan restriksi di bidang investasi,” jelas Mari.
Respon “melindungi” seperti ini tidak dapat disalahkan, karena memang ada sisi gelap dari globalisasi seperti kepekaan terhadap guncangan ekonomi, perdagangan manusia, penistaan pekerja migran, fake news, dan sebagainya.
“Namun seyogyanya berbagai pengalaman itu mengharuskan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam merespon globalisasi agar mendukung desain kebijakan yang lebih tepat untuk menjawab isu yang muncul,” ungkapnya.
Pencapaian swasembada pangan misalnya, tidak harus diartikan melarang impor sama sekali.
Artinya, pendekatan untuk menencukupi kebutuhan dalam negeri dengan harga yang terjangkau, termasuk dengan pengelolaan impor agar stok dalam negeri cukup dan harga stabil juga perlu ditekankan.