laporan Reporter Kontan, Febrina Ratna Iskana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perusahaan migas yang berbasis di Belanda, Shell, terus melicinkan ekspansi bisnisnya di Indonesia. Kabar teranyar, Shell telah mengajukan izin mengimpor gas alam cair (LNG) kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Shell menyatakan terus membuka peluang untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia. "Shell selalu menjajaki peluang bertumbuh," kata External RelationShell Indonesia, Dina Setianto ke KONTAN, Rabu (18/7/2018).
Namun dia belum mengungkapkan lebih lanjut rencana impor LNG tersebut. Terutama mengenai volume LNG yang akan diimpor dan pasar yang disasar oleh Shell.
Sejauh ini, pemerintah belum menyetujui permohonan izin impor LNG oleh Shell. "Belum (diberikan izin)," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Djoko Siswanto.
Pemerintah akan memanggil Shell terlebih dulu untuk presentasi pada bulan ini.
Baca: Mantap Berkoalisi dengan Gerindra, PKS Minta Kadernya Masuk di Bursa Cawapres Prabowo
Djoko berharap Shell menjabarkan lebih jelas mengenai rencana impor LNG. Sejauh ini Djoko baru mengetahui rencana Shell mengimpor LNG akan dibarengi dengan membangun fasilitas LNG.
Di sisi lain, pemerintah masih mengkaji dampak positif dan negatif dari rencana impor LNG Shell.
Jika impor dilakukan dan harga LNG yang didapat oleh Shell lebih murah, maka harga gas lebih kompetitif terutama untuk industri seperti pupuk, petrokimia dan listrik.
Baca: LPS: 71 Persen Tabungan di Perbankan Berasal dari Segelintir Orang
Di sisi lain, impor LNG oleh Shell bisa berdampak negatif, terutama untuk suplai domestik. Maklumlah, setiap tahun pemerintah harus menjual sejumlah kargo LNG ke pasar spot karena tidak terserap di dalam negeri.
Pemerintah pernah memproyeksikan Indonesia akan mengimpor LNG mulai tahun 2019/2020, menyusul kebutuhan yang terus meningkat dan sejumlah proyek gas yang belum berproduksi.
Tahun lalu, kebutuhan LNG domestik hanya 2,4 juta metrik ton per tahun (mtpa), turun 15% dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 2,8 juta mtpa.
Tahun ini, kebutuhan LNG domestik diprediksikan 2,8 juta mtpa. Kenaikan permintaan LNG domestik itu ditopang kebutuhan pembangkit listrik PT PLN.
Surplus
Meski begitu, permintaan LNG dari pasar domestik tak mampu menyerap seluruh produksi LNG tahun ini.
Edi Saputra, Analis Senior Gas and Power Lead Asia Wood Mackenzie, memproyeksikan, Indonesia bisa memproduksi LNG tahun ini berkisar 18,5 juta mtpa.
Produksi itu berasal dari Kilang Bontang sebanyak 9 juta mtpa, lapangan Tangguh mencapai 7 juta mtpa, serta Donggi Senoro 2,5 juta mtpa.
Dari total produksi LNG tersebut, yang memiliki kontrak untuk pasar ekspor khususnya Asia Timur hanya mencapai 12,5 juta mtpa. Sementara kebutuhan domestik sebesar 2,8 juta mtpa. Alhasil, ada surplus LNG sebesar 3-4 juta mtpa pada tahun ini.
Edi menilai, kebutuhan LNG domestik saat ini belum menunjukkan kenaikan signifikan.
Dia bahkan memproyeksikan Indonesia masih bisa surplus LNG hingga tahun 2024. Itu pun dengan memperhitungkan kontrak-kontrak Pertamina dengan Cheniere Energy, Total, serta Woodside Energy.
"Kami melihat gap-nya muncul di tahun 2025, gap itu kebutuhan impor. Pada tahun 2024 masih surplus," ujar Edi, belum lama ini.
Di Indonesia, Shell menjalankan aktivitas bisnisnya di sektor hulu dan hilir.
Di sektor hilir, aktivitas bisnis Shell meliputi BBM, pelumas untuk industri, otomotif dan transportasi, bahan bakar untuk industri kelautan, bahan bakar komersial dan bitumen.
Shell Indonesia melayani pangsa pasar bisnis dan pengendara bermotor. Shell mengelola kegiatan bisnis yang meliputi pemasaran dan perdagangan pelumas secara langsung maupun melalui distributor-distributor yang telah ditunjuk.
Di sektor hulu, Shell merupakan mitra strategis Inpex, operator Masela PSC yang meliputi lapangan gas Abadi.