TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerbitan surat utang (obligasi) korporasi pada semester kedua tahun ini diprediksi masih akan tinggi mengingat jumlah obligasi korporasi yang akan jatuh tempo pada Agustus-Desember tahun ini mencapai Rp 26,3 triliun.
Head of Debt Research Division PT Danareksa Sekuritas Amir A. Dalimunthe mengatakan jumlah obligasi jatuh tempo menjadi salah satu faktor pendorong menariknya penerbitan obligasi tahun ini.
Ini mengindikasikan potensi demand penerbitan obligasi cukup besar, apalagi jika memperhitungkan potensi demand dari hasil pengelolaan investasi atau dana baru yang masuk ke investor.
"Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per Juni 2018 menunjukkan, obligasi korporasi yang akan jatuh tempo periode Agustus-Desember 2018 mencapai Rp26,3 triliun,” kata Amir dalam keterangan pers, Senin (20/8/2018).
Selain obligasi jatuh tempo, Amir menganalisis bahwa faktor pendorong lainnya yang akan berpengaruh signifikan terhadap suksesnya penerbitan obligasi korporasi adalah strategi pricing atau penentuan imbal hasil (yield).
Baca: Korupsi Sektor SDA, Walhi Minta KPK Jerat Korporasi
Para pelaku pasar, katanya, masih mengantisipasi volatilitas dan potensi kenaikan imbal hasil di masa mendatang.
Selama Januari-Juli 2018, data KSEI mencatat penerbitan obligasi korporasi baru sudah mencapai Rp 7 Triliun, kendati jumlah tersebut turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 yang mencapai Rp84,1 triliun.
“Meningkatnya yield SUN [Surat Utang Negara] sejak pertengahan kuartal pertama tahun ini menyebabkan penerbitan di pasar perdana obligasi tidak seramai tahun 2017,” katanya.
Sepanjang tahun ini, yield SUN tenor 10 tahun naik signifikan dengan tingkat volatilitas cukup tinggi. Per 30 Juli, yield SUN 10 tahun berada di level 7,72% atau naik 141 basis poin (bps) dari akhir tahun 2017.
Amir menjelaskan, jumlah obligasi korporasi yang jatuh tempo pada periode Agustus-Desember 2018 didominasi sektor keuangan sebesar Rp20,7 triliun.
Selain itu, sisa plafon penerbitan obligasi dengan skema Penawaran Umum Berkelanjutan atau PUB di sektor keuangan juga masih cukup besar sehingga meningkatkan potensi suplai obligasi dari industri keuangan.
Baca: Sidang kasus pembunuhan kakak tiri Kim Jong-un dilanjutkan, Siti Aisyah belum bebas
“Ditambah lagi, emiten-emiten kelompok BUMN yang terkait dengan infrastruktur kemungkinan besar juga masih berpotensi masuk lagi ke pasar modal dengan merilis obligasi korporasi," katanya.
Mengacu data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 31 Juli 2018, total emisi obligasi dan sukuk korporasi baru yang tercatat sepanjang tahun ini mencapai 60 emisi dari 41 emiten dengan nilai menembus Rp71,44 triliun.
Dengan demikian, total obligasi dan sukuk yang tercatat di BEI berjumlah 624 emisi dengan nilai nominal outstanding sebesar Rp402 triliun, diterbitkan oleh 112 emiten.
Di sisi lain, jumlah Surat Berharga Negara (SBN) tercatat di BEI mencapai 91 seri dengan nilai nominal Rp2.224,71 triliun dan US$200 juta. Efek Beragun Aset (EBA) tercatat sebanyak 14 emisi senilai Rp9,91 triliun.
Menurut Amir, pasar obligasi setidaknya akan mendapat tekanan dari beberapa sentimen baik dalam dan luar negeri, di antaranya kebijakan suku bunga acuan Fed Funds Rate (FFR) dan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Baca: Pemerintah Ajak Anak Muda Beli Surat Utang Negara
Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau the Fed, pada rapat Federal Open Market Committee pada 31 Juli- 1 Agustus lalu akhirnya mengumumkan mempertahankan kisaran target FFR tetap di level 1,75 persen hingga 2 persen.