TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Kementerian Keuangan menyatakan tengah mengkaji 900 barang konsumsi untuk dinaikkan tarif impornya.
Hal itu dilakukan untuk pemerintah untuk menekan defisit neraca perdagangan dan mengendalikan inflasi.
Tercatat, pada Juli 2018, neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar 2,03 miliar dolar AS.
Sementara, secara kumulatif pada Januari hingga Juli 2018, defisit neraca dagang menjadi 3,09 miliar dolar AS.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara meyakinkan, pembatasan impor tersebut tidak akan mempengaruhi kinerja industri, sebab, semua jenis komoditas yang saat ini sedang dalam kajian merupakan barang konsumsi. Proses evaluasi ini ditargetkan akan rampung dalam waktu dua pekan ke depan.
“Saat ini ada 900 barang konsumsi yang terkena PPh impor. Sudah ada yang kena 2,5 ada yang 7,5 ada yang 10 persen. Akan kita kaji komoditas mana yang diproduksi dalam negeri, mana yang punya multiplier effect bagi perekonomian nasional,” kata Suahasil di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (24/8/2018).
Baca: Impor Minyak Diperkirakan Akan Tetap Tinggi
Ditemui secara terpisah, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai, masih merinci lebih lanjut mengenai rencana kenaikan tarif pajak impor untuk barang konsumsi tersebut.
“Itu akan kita teliti satu per satu, kita rinci satu per satu, nantinya ada pembahasan lanjutan,” kata Menteri Airlangga kepada Tribunnews.com, di Puri Begawan Bogor, Jawa Barat, (25/8/2018).
Tak hanya itu, selain mengendalikan impor, pemerintah juga akan menerapkan mandatori biodisel 20 persen. Menteri Airlangga menyatakan pelaku industri siap menjalankan kebijakan tersebut yang mulai berlaku pada 1 September 2018 mendatang.
“Penerapan kebijakan biodiesel 20 persen siap dijalankan 1 September 2018,” pungkasnya.