Pun tak kalah penting menurut Denni, Indonesia memiliki hubungan cukup baik dengan bank sentral negara lain seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Australia.
“Kita punya bilateral soft arrangement, jadi saat misalnya kita butuh dolar, kita bisa minta bank sentral negara-negara itu untuk memback-up, walaupun cadangan devisa kita saat ini ada 118 Milar Dolar AS,” jelas doktor ekonomi lulusan University of Colorado itu.
Lebih lanjut Denni memaparkan, pemerintah menahan harga BBM sejak tahun lalu demi menjaga daya beli masyarakat terjaga, termasuk dengan meningkatkan subsidi untuk solar serta efisiensi Premium oleh Pertamina.
Terkait fluktuasi nilai rupiah terhadap Dolar AS, Denni mengingatkan, bahwa sebagai negara pengekspor minyak dan beberapa komoditas lain, pemerintah juga mendapatkan mendapatkan windfall berupa kenaikan PNBP.
“Keuntungan ini antara lain digunakan untuk mensubsidi solar agar dapat menstimulasi produktivitas di bidang industri khususnya transportasi barang dan jasa,” paparnya.
Terkait daya dukung masyarakat, Denni masih melihatnya sebagai hal yang positif. Dapat dilihat bahwa konsumsi sudah tumbuh di atas lima persen.
Namun pertumbuhan ini harus terus dipantau, beserta pula beberapa indikator lainnya.
“Stabilitas ekonomi itu sangat penting, kita tidak bisa hidup dalam kondisi besar pasak daripada tiang. Apabila bertahan seperti itu ekonomi kita bisa jatuh,” kata akademisi yang pernah menjadi anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk Kerja Sama Internasional, Tim Asistensi Menteri Perdagangan Mari Pangestu, serta Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Boediono.
Baca: Fadli yakin Tim Pemenangannya Bisa Saingi Timses Jokowi-Maruf
Intinya, pungkas Denni, berkaca dari indikator-indikator ekonomi yang baik tadi, masyarakat tidak perlu panik.
“Yang terjadi di dunia sana biarlah terjadi di sana, kita tetap saja fokus bekerja membangun bangsa,” cetusnya.