TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dalam waktu dekat akan mengeluarkan aturan mengenai standarisasi biaya transaksi ATM.
Hal ini dilakukan seiring dengan rencana BI yang akan mengebut interkoneksi switching ATM.
Hermawan Tjandra, EVP Marketing PT Rintis Sejahtera mengusulkan biaya transaksi ATM khususnya tarik tunai bisa lebih mahal.
“Transaksi tunai harus di-discourage dengan biaya lebih tinggi, sedangkan fitur transaksi non tunai di-encourage dengan biaya lebih murah dan insentif tax refund,” kata Hermawan, Sabtu (29/9).
Hal ini harapannya bisa mendorong transaksi non tunai yang menjadi tujuan pemerintah.
Hermawan bilang insentif transaksi non tunai untuk mempercepat gerakan nasional non tunai (GNNT) ini terbukti di negara maju.
Jika biaya transaksi tunai dibuat rendah, transaksi masyarakat dan merchant akan kembali ke tunai.
Biaya pencetakan uang tunai dan cash management akan kembali meningkat pesat dan menjadi beban berat bagi perbankan.
Potensi peningkatan money laundering melalui dana tunai juga bertambah. Hal ini akhirnya akan self-defeating tujuan akhir gerbang pembayaran nasional (GPN).
Baca: PMI Kerahkan Dua Helikopter Untuk Bantun Korban Palu-Donggala
Bayu Hanantasena, Direktur Utama Artajasa mengatakan, biaya transaksi ATM ini memang sebaiknya naik.
“Hal ini untuk mendorong transaksi cashless,” kata Bayu ketika ditemui, Kamis (26/9).
Namun jika susah untuk menaikkan biaya transaksi ATM, sebaiknya BI tidak mengubah maksimal tarif yang sudah ada.
Pertimbangan biaya ini menurut Bayu karena pengelolaan kas memang selama ini terkenal mahal.
Sebagai gambaran saja, biaya operasional ATM bank per bulan adalah di atas Rp 15 juta.
Biaya operasional ATM ini lebih mahal di tempat seperti mall dan pusat perbelanjaan.